Kerusakan lingkungan hidup salah satunya disebabkan oleh pengabaian aspek lingkungan hidup dalam membangun sektor-sektor pembangunan yang diperhitungkan dapat memberikan kontribusi tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi mungkin dicapai, namun kerusakan lingkungan yang terjadi justru mengurangi makna dari pembangunan itu sendiri tatkala berdampak pada rusaknya hutan, sungai, pesisir dan juga kualitas udara yang menurun. Apalagi pertumbuhan ini pada akhirnya juga masih diikuti oleh tingkat kemiskinan yang tinggi dan infrastruktur sosial yang masih belum memadai. Pendekatan pembangunan dengan bertumpu pada “sektor-sektor” unggulan untuk meraih pertumbuhan saatnya untuk direnungkan kembali.
Paska kebakaran lahan dan hutan besar-besaran pada tahun 2015 [1] menjadikan pemerintah daerah dan parapihak di Sumatera Selatan mulai menyadari pentingnya sinergi antar sektor terutama untuk mengatasi berbagai resiko lingkungan hidup dan pengentasan kemiskinan. Pendekatan multipihak, multi-sektor, dan multi-tingkat mulai dirintis untuk memantapkan arah tata kelola skala lanskap (landscape governance). Project KELOLA Sendang (Kemitraan Pengelolaan Lanskap Sembilang Dangku) menjadi salah satu momentum berarti dalam hal ini. [2]
__________
[1] Menurut Gubernur Sumsel saat itu kebakaran yang terjadi merusak sekitar 736 ribu ha kawasan hutan yang ada di Sumsel. Lihat https://www.merdeka.com/peristiwa/kebakaran-2015-736-ribu-hektar-hutan-di-sumsel-dinyatakan-rusak. 9 Mei 2017.
[2] KELOLA Sendang adalah sebuah project yang mempromosikan pendekatan lanskap di Sumatera Selatan. Project ini diselenggarakan oleh konsorsium beberapa NGO lokal maupun internasional yang dimotori oleh ZSL, yang diselenggarakan pada tahun 2016-2019. Area project ini meliputi bentang alam dari Taman Nasional Sembilang (Kabupaten Banyuasin) hingga Suaka Margasatwa Dangku (Kabupaten Musi Banyuasin).
Pendekatan Lanskap menjadi istilah yang sangat akrab sejak saat itu bagi para pemangku kepentingan di Sumatera Selatan. Pendekatan baru tersebut lebih mengedepankan kontribusi gagasan dan keterlibatan para pemangku kepentingan—baik masyarakat, pemerintah, maupun swasta. Yayasan Resiliensi Lingkungan Indonesia (RELUNG Indonesia) terlibat bersama dengan Yayasan Penabulu yang dipercaya untuk menggagas dan mengembangkan sebuah Rencana Induk (masterplan) KELOLA Sendang sebagai rencana kolaborasi jangka panjang parapihak pada lanskap Sembilang-Dangku. Dokumen ini ini mempunyai periode perencanaan 10 tahun (2018-2028).
Selain fokus pada 2 (dua) tujuan utama yakni meraih kelestarian lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan mewujudkan ekonomi inklusif untuk kesejahteraan masyarakat, Masterplan KELOLA Sendang juga menetapkan 3 (tiga) Area Model Kemitraan meliputi Kawasan Dangku Meranti, Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Merang – Sungai Ngirawan, dan Kawasan Penyangga TN Berbak Sembilang di Kecamatan Banyuasin II dan Kecamatan Karang Agung Ilir . Para stakeholders pada masing-masing area model pun tergabung dalam sebuah forum multipihak antara lain Forum Dangku Meranti, Forum Medak Merang Kepayang, dan Forum Sembilang Banyuasin.
Masterplan Sebagai Wujud Kepedulian Bersama
Masterplan KELOLA Sendang merupakan suatu bentuk perencanaan kolaboratif untuk mengembangkan rencana aksi kemitraan di Lanskap Sembilang Dangku. Sebagai bentuk perencanaan kolaboratif, masterplan tersebut disusun berdasarkan masukan dari parapihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan Lanskap Sembilang Dangku ,meliputi; pemerintah, swasta, dan masyarakat. Disebutkan pula, bahwa tujuan penyusunan masterplan ini adalah sebagai penopang Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Sumatera Selatan sebagaimana tertuang dalam Green Growth Plan (GGP) pada Peraturan Gubernur Nomor 21 Tahun 2017.
Dokumen Masterplan KELOLA Sendang merupakan salah satu hasil kerja PSU – PIU sebagaimana dimandatkan oleh SK Gubernur Sumatera Selatan No. 332/KPTS/Bappeda/2017 Tentang Pembentukan Tim Project Supervisory Unit dan Project Implementing Unit Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan Sembilang Dangku. SK tersebut menyebutkan bahwa salah satu tugas Tim PSU – PIU adalah menyusun Rencana Induk Kelola Sendang beserta target-target pencapaian proyek per tahunnya (project milestone) yang akan mengkonsolidasikan seluruh rencana kerja para pihak pada Lanskap Sembilang Dangku. Tim PSU – PIU merampungkan Masterplan KELOLA Sendang pada bulan Agustus 2018 dan dilanjutkan dengan penyerahan dokumen masterplan kepada PSC (Project Steering Committee) yang juga terdiri dari unsur Pemerintah Pusat, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Restorasi Gambut (BRG) pada bulan September 2018.

Masterplan KELOLA Sendang memiliki visi “mewujudkan lanskap berkelanjutan melalui kemitraan masyarakat – pemerintah – swasta yang kuat dan efektif pada Lanskap Sembilang Dangku untuk meraih kelestarian lingkungan hidup dan sumberdaya alam serta mewujudkan ekonomi inklusif untuk kesejahteraan masyarakat”. Masterplan yang memiliki jangka waktu antara tahun 2018 sampai 2028 ini terbagi dalam Periode Jangka Menengah I (2018 – 2023) dan Periode Jangka Menengah II (2023 – 2028). Sementara itu, tujuan yang akan diraih dalam 10 tahun ke depan meliputi lingkungan hidup dan sumber daya alam yang lestari dan ekonomi yang inklusif. Lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang lestari didekati dengan 2 (dua) sasaran, yaitu penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dan pelestarian keanekaragaman hayati (lihat Ariyanti et al., 2018:111-112). Sedangkan sasaran ekonomi inklusif didekati dengan dimensi kunci pertumbuhan ekonomi inklusif (inclusive growth), yaitu mencapai pertumbuhan berkelanjutan yang akan menciptakan dan memperluas peluang ekonomi, dan memastikan akses yang lebih luas terhadap peluang-peluang tersebut. Secara umum, masterplan ini memiliki 2 (dua) tujuan, 7 (tujuh) sasaran utama, 19 program prioritas, dan 5 (lima) tema kolaborasi. Kelima tema kolaborasi dalam masterplan tersebut meliputi pelestarian keanekaragaman hayati dan perbaikan tutupan lahan, penguatan akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan, perkebunan dan hutan tanaman berkelanjutan, pengembangan agrobisnis dan agroindustri di pedesaan, dan pengembangan kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
Diakui, proses penyusunan masterplan yang mengedepankan pendekatan multipihak ini masih belum mampu menjangkau keseluruhan stakeholders yang ada. Hal tersebut tentu saja merupakan sebuah keniscayaan yang dapat segera dipahami dan dimaklumi menilik besarnya luas cakupan Lanskap Sembilang Dangku dengan tingginya jumlah dan beragamnya jenis aktor pemangku kepentingan. Meskipun demikian, masterplan dan berbagai dinamika proses yang berlangsung selama ini telah mampu menghasilkan kepedulian bersama terhadap Lanskap Sembilang Dangku. Dalam kerangka pendekatan lankskap (landsape approach), Sayer et al. (2013:3) menyatakan bahwa kepedulian bersama (common concern) merupakan titik masuk dalam membangun kepercayaan dan konsensus para pemangku kepentingan untuk bekerja bersama mengatasi berbagai permasalahan.

Memang, sejauh ini, sebagai wujud kepedulian bersama (common concern), Masterplan KELOLA Sendang masih belum memiliki kepastian hukum secara formal, sehi ngga keberadaannya masih belum mampu sepenuhnya menjadi acuan bersama dalam pengaturan lanskap (landscape governance). Masterplan KELOLA Sendang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SK Gubernur Sumsel No. 332/KPTS/Bappeda/2017, sehingga dengan sendirinya—memiliki status legal dari ikatan dasar hukum yang melingkupinya. Dalam berbagai kerja kolaborasi (collaborative action), legitimasi dari para aktor pemangku kepentingan lebih diperlukan bagi berlangsungnya tindakan bersama secara nyata. Namun demikian, harus dipahami pula bahwa terdapat beberapa aktor yang hanya dapat bertindak atas dasar regulasi legal-formal. Dengan demikian, upaya legalisasi Masterplan KELOLA Sendang harus tetap dituntaskan—dengan tetap selalu menjaga legitimasi dari berbagai pihak dan kalangan yang berkepentingan.
Menilik durasi waktunya yang relatif panjang, upaya legalisasi masterplan juga harus diarahkan untuk tidak menjadikannya sebagai sebuah rencana induk yang baku dan bersifat statis. Aturan main bagi terbukanya peluang penyesuaian terhadap masterplan tersebut harus tetap tersedia, agar supaya relevansi dan koherensi terhadap situasi dan kondisi lanskap yang dinamis dapat terus terjaga. Reed et al. (2016:2543-2544) menyampaikan bahwa, secara inheren, lanskap bersifat dinamis. Komponen pembentuk lanskap—baik biofisik, sosial, maupun politik—tidak pernah statis dan perubahan stokastik dapat, akan, dan pasti berlangsung.
Oleh: Rohny Sanyoto dan Akhmad Arief Fahmi
Referensi:
Reed, James et al., 2016. Integrated Landscape Approaches to Managing Social and Environmental Issues in The Tropics: Learning from The Past to Guide The Future, Global Change Biology (2016) 22, 2540 – 2554.
Sayer, Jeffrey et al., 2013. Ten Principles for a Landscape Approach to Reconciling Agriculture, Conservation, and Other Competing Land Uses, Article in Proceedings of the National Academy of Sciences, May 2013.
Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan No. 332/KPTS/Bappeda/2017 Tentang Pembentukan Tim Project Supervisory Unit dan Project Implementing Unit Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan Sembilang Dangku
https://www.merdeka.com/peristiwa/kebakaran-2015-736-ribu-hektar-hutan-di-sumsel-dinyatakan-rusak