Sumatera Selatan Di Antara Fragmentasi Pengaturan Sumberdaya Alam
Bentang wilayah Provinsi Sumatera Selatan adalah sebesar 86.700,68 km2 terbagi dalam 17 kabupaten/kota, 239 kecamatan, serta 386 kelurahan dan 2.862 desa (BPS Sumsel, 2019). Topografi wilayah ini didominasi oleh dataran rendah yang luas dengan rawa-rawa dan payau pada sisi timur dan pegunungan Bukit Barisan pada sisi barat. Bukit Barisan merupakan hulu bagi sebagian besar sungai di Sumatera Selatan, termasuk Sungai Musi dan anak-anak sungainya—seperti Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan, Sungai Rupit, dan Sungai Rawas. Hanya Sungai Mesuji, Sungai Lalan, dan Sungai Banyuasin—yang tak bermata air dari pegunungan Bukit Barisan.
Sumber daya air tersedia melimpah pada wilayah yang acap dijuluki Bumi Sriwijaya ini. Namun, kelimpahan tersebut masih terlihat belum dapat dikelola secara optimal untuk memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan air minum, pertanian, perikanan, transportasi, pembangkit energi, dan lain sebagainya. Bahkan, keberadaannya semakin terdegradasi sebagai akibat dari praktik-praktik investasi yang eksploitatif dan fragmentasi pengaturan ruang. Selain dirasakan semakin keruh dan tercemar, aliran sungai terus mengalami sedimentasi dan pendangkalan. Konon, pendangkalan sungai tersebutlah yang menjadi salah satu musabab tidak difungsikannya lagi Jembatan Ampera yang didesain untuk bisa dinaikturunkan [1]. Pendangkalan Musi telah menyebabkan tidak ada lagi kapal besar yang bisa berlayar.
Sebagian besar wilayah Sumatera Selatan merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi, pun sebaliknya, sebagian besar wilayah DAS Musi berada pada Provinsi Sumatera Selatan. Sumatera Selatan mendominasi 95 % wilayah DAS Musi, sementara DAS Musi menguasai 59 % area Provinsi Sumatera Selatan. Karena kondisinya yang kritis, DAS Musi ditetapkan sebagai salah satu DAS Prioritas dalam RPJMN 2015 – 2019 dan SK 328/Menhut-II/2009. Tingkat kekritisan DAS menunjukkan penurunan penutupan vegetasi permanen dan peningkatan luas lahan kritis, sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air. Terganggunya fungsi hidrologis tersebut tercermin dalam meningkatnya frekuensi kejadian banjir, erosi, dan tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dokumen SeHati Sumsel [2] 2017 – 2021 menyebutkan bahwa lebih dari 44 % lahan berada dalam kondisi kritis dan sangat kritis, dan hanya 11 % dalam kondisi baik.
______________________
[1]Jembatan Ampera diresmikan pada tahun 1965 oleh Presiden Soekarno dan menjadi jembatan terpanjang di Asia Tenggara pada waktu itu. Jembatan ini diniatkan untuk menghubungkan 2 (dua) daratan yang terpisah oleh Sungai Musi, yakni Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Sebenarnya, gagasan pembuatan jembatan penghubung ini telah mengemuka sejak tahun 1906 dan mencuat kembali pada tahun 1924. Di masa kemerdekaan, pembangunan Jembatan Ampera disetujui pada tahun 1956, namun baru dapat direalisasikan sejak bulan April 1962. Selain menghubungkan kedua daratan, jembatan tersebut didesain untuk memungkinkan kapal besar yang berlayar tetap dapat melintasinya. Namun, sejak tahun 1970, fungsi tersebut telah tidak dijalankan lagi.
[2] waktu pengangkatan jembatan yang memakan waktu lama, kapal besar pun tidak lagi dapat berlayar di Sungai Musi sebagai akibat berlangsungnya pendangkalan sungai. (Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Provinsi Sumatera Selatan)

Menurut Ulya (2016:232), tekanan terhadap DAS Musi cenderung bersifat antropogenik. Jumlah penduduk yang terus meningkat membutuhkan air dan lahan yang juga meningkat dari waktu ke waktu. Kebutuhan lahan budidaya dan infrastruktur dalam rangka pembangunan ekonomi memberikan tekanan pada kondisi tutupan lahan DAS Musi. Industrialisasi pun turut berkontribusi pada penurunan kualitas air dan lingkungan pada DAS tersebut. Sementara, Dishut Sumsel (2017:14) menyatakan bahwa berbagai tekanan yang tinggi dari berbagai hal diantaranya perluasan lahan pertanian dan perkebunan, eksploitasi hutan yang tidak lestari, eksploitasi tambang, pembalakan liar, transmigrasi, dan pertambahan penduduk menyebabkan rendahnya prosentase tutupan hutan yaitu hanya 11 %. Analisis data tutupan lahan menunjukkan keberadaan kurang lebih 1,06 juta hektar hutan alam pada tahun 2000, tetapi menurun menjadi 0,942 juta hektar pada tahun 2012, atau menurun sebesar 9.780 hektar per tahun.
Selain pertumbuhan penduduk, penurunan tutupan hutan (forest cover) tersebut memang tidak terlepas dari bertumbuhnya situasi perekonomian Provinsi Sumatera Selatan yang ditopang oleh sektor perkebunan sawit dan pertambangan. Menurut PASPI (2016:11), luas kebun sawit Sumatera Selatan mengalami peningkatan dari 54 ribu hektar pada tahun 1990 menjadi 1,1 juta hektar pada tahun 2015. Berdasarkan BPS Sumsel (2019:231), luas areal tanaman perkebunan kelapa sawit adalah seluas 1.366.906,69 hektar pada tahun 2018. PASPI (2016:13) juga mencatat kenaikan volume ekspor minyak sawit Sumatera Selatan dari 0,5 juta ton pada tahun 2000 menjadi 2,6 juta ton pada tahun 2015—dengan nilai ekspor sebesar USD 1,8 milyar.
Tidak saja mengambil alih kawasan hutan yang dikonversi secara absah, geliat perkembangan sawit di berbagai daerah juga memicu ekspansi komoditas tersebut ke dalam kawasan hutan secara ekstra-legal [3]. Merujuk Bakhtiar et al (2019:24-26), luas tutupan sawit di dalam kawasan hutan di seluruh Indonesia adalah sebesar 3.474.443 hektar. Provinsi Sumatera Selatan berkontribusi 6,3 % atau seluas 218.425 hektar dalam ekspansi ekstra-legal tersebut dimana lebih dari separuhnya berada pada Kabupaten Musi Banyuasin. Kabupaten ini memiliki tutupan sawit di dalam kawasan hutan seluas 113.162 hektar yang tersebar pada berbagai tipe status kawasan hutan baik Hutan Produksi (50,7 %), Hutan Produksi Terbatas (9,2 %), Hutan Produksi Konversi (26,2 %), Hutan Lindung (0,1 %), dan Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam (13,8 %).
Meskipun acap dituding sebagai penyebab deforestasi, PASPI (2016:28-38) menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi dan menjadi bagian penting dalam pelestarian lingkungan hidup. Perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari “paru-paru” ekosistem Sumatera Selatan yang membersihkan udara dan menyediakan oksigen (O2) untuk kehidupan. Disebutkan pula, bahwa kebun sawit juga bagian penting dari sistem konservasi tanah dan air di Sumatera Selatan. Kelapa sawit memiliki perakaran masif yang berfungsi sebagai sistem biopori alamiah. Sistem biopori alamiah tersebut mampu mempercepat penyerapan air permukaan (infiltrasi) dan menyimpan cadangan air. Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit dapat mengendalikan erosi dan banjir ketika musim hujan dan menghindarkan kekeringan tatkala musim kemarau.
Selain perkebunan kelapa sawit, sektor pertambangan dan penggalian (mining and quarrying) memiliki kontribusi signifikan dalam perputaran roda perekonomian Provinsi Sumatera Selatan. Pada tahun 2018, sektor ini menyumbang 20,2 % PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto)—atau senilai 84,9 triliun rupiah (lihat BPS Sumsel, 2019:368-391). Pertambangan minyak bumi, gas alam, dan panas bumi mendominasi 40,2 % PDRB dari sektor tersebut—atau setara 34,1 triliun rupiah. Sementara, pertambangan batubara dan lignit menguasai 30,2 % atau senilai 25,7 triliun rupiah.
Berdasarkan tatanan teknoniknya (tectonic setting), Sumatera Selatan menempati mendala cekungan belakang busur Paleogen (Paleogene back–arc basin) yang dikenal sebagai cekungan Sumatera Selatan (South Sumatera basin) di bagian timur dan mendala busur vulkanik (volcanic arc) yang membentang secara regional di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan di bagian barat. Wilayah Sumatera Selatan yang menempati cekungan sedimen belakang busur dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi sumberdaya energi fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Sedangkan, wilayah yang berada pada busur gunung api aktif (volcanic arc) dikenal sebagai daerah yang mempunyai potensi sumberdaya energi non-fosil seperti panas bumi (geothermal) (lihat Dokumen Master Plan Provinsi Sumatera Selatan sebagai Lumbung Energi Nasional Tahun 2006 – 2025).
[3] Tindakan ekstra-legal merujuk pada aktivitas yang berlandaskan adat, kebiasaan, saling pengertian, atau konvensi bersama yang dipahami dan/atau ditaati oleh komunitas. Meskipun acapkali bersifat ilegal, tindakan ekstra-legal tidak pernah mendapatkan tindakan apa-apa dari masyarakat.
Merunut catatan Dinas Pertambangan dan Pengembangan Energi Sumatera Selatan, besarnya sumber daya dan cadangan batubara pada provinsi ini adalah sebesar 22,24 milyar ton atau 47 % dari jumlah cadangan nasional [4]. Rata-rata jumlah produksi adalah sebesar 46 – 48 juta ton per tahun. Kelimpahan batubara pada wilayah ini mengundang masuknya investasi swasta yang acapkali kurang memiliki kepedulian dalam keberlanjutan ekosistem. Berdasarkan hasil Korsup Minerba KPK [5] pada tahun 2009, dilakukan pencabutan 222 IUP [6] , 84 IUP bermasalah pada kewajiban jaminan reklamasi, dan hanya 56 IUP yang bersih atau clear and clean (CnC). Sebanyak 68 IUP yang bermasalah dengan jaminan reklamasi pun akhirnya dibekukan dan 16 IUP masih diberikan tenggat waktu. Selain perilaku para pemegang IUP tersebut, dinamika eksploitasi batubara di Sumatera Selatan juga diwarnai dengan maraknya penambangan illegal (ilegal mining) yang tidak mematuhi prosedur yang memadai di dalam menjalankan usahanya.
Sementara itu, potensi minyak bumi, gas alam, dan panas bumi di Bumi Sriwijaya pun tidak main-main. Setiap hari, Sumatera Selatan mampu menghasilkan minyak bumi sebanyak 41.057 barel. Angka tersebut hanya kalah apabila diperbandingkan dengan 4 (empat) wilayah penghasil minyak bumi lainnya yakni Riau (359.777 barel), Kalimantan Timur (134.626 barel), Daerah Laut Jawa (65.154 barel), dan Kepulauan Riau (59.210 barel) [7]. Pada awal tahun 2019, diketemukan pula cadangan gas alam sebanyak kurang lebih 2 TCF [8] di Blok Sakakemang – Musi Banyuasin. Cadangan gas alam tersebut menempati urutan ke empat terbesar di dunia setelah sumur Calypso 1 – Cyprus (3,5 TCF), Obskaya Severnaya 1 – Rusia (3 TCF), dan 1-STAT-010-SPS – Brasil (2 TCF) [9].
[4] Berita CNN Indonesia pada tanggal 31 Agustus 2019 dalam tautan berikut ini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190831001310-20-426302/tambang-ilegal-sumsel-rugikan-negara-ratusan-miliar-per-tahun
[5] Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Batubara Komisi Pemberantasan Korupsi.
[6] Izin Usaha Pertambangan.
[7] Sumber: https://muamala.net/daerah-penghasil-minyak-bumi/.
[8] Trillion Cubic Feets.
[9] Sumber: https://finance.detik.com/energi/d-4438583/temuan-gas-di-sakakemang-sumsel-disebut-terbesar-ke-4-dunia.
Sejarah eksplorasi minyak dan gas bumi di cekungan Sumatera Selatan telah dimulai sejak awal abad ke-19, dimana pada saat itu ditemukan cadangan minyak dan gas dalam jumlah yang cukup besar. Khusus pada daerah paparan Musi (Musi platform), kegiatan eksplorasi dimulai pada tahun 1939, ketika BPM melakukan pengeboran pada sumur Kikim-1 dan menemukan cadangan gas alam pada batu gamping Formasi Baturaja [10]. Saat ini, setidaknya terdapat 38 perusahaan migas yang beroperasi pada 11 kabupaten/kota di Sumatera Selatan. Musi Banyuasin merupakan kabupaten dengan jumlah sumur migas terbanyak, disusul Kabupaten Prabumulih dan Musi Rawas. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada tahun anggaran 2019 Musi Banyuasin menerima Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam (DBH SDA) Migas senilai 1,43 triliun rupiah dan menjadi kabupaten/kota penerima DBH Migas terbesar ke dua setelah Kabupaten Bojonegoro – Jawa Timur. Sementara itu, Sumatera Selatan memperoleh 908,469 milyar rupiah dan merupakan provinsi penerima DBH Migas terbesar ke lima setelah Papua Barat, Jawa Timur, Riau, dan Kalimantan Timur [11].
Seperti halnya batubara, pertambangan migas di Sumatera Selatan juga harus berhadapan dengan keberadaan para penambang liar yang merugikan negara. Menurut pantauan SKK Migas Wilayah Sumbagsel [12] , terdapat ribuan titik pengeboran ilegal (ilegal drilling) yang tersebar pada beberapa kabupaten di Sumatera Selatan terutama di Musi Banyuasin dan Jambi terutama di Batanghari. Bahkan, pengeboran ilegal ini juga telah merambah kawasan hutan dan mengancam kelestariannya. Limbah yang dihasilkan dari aktivitas tersebut pun telah mengakibatkan pencemaran lingkungan dan berdampak buruk bagi warga sekitar [13].
Potensi energi non-fosil berupa panas bumi (geothermal) juga tersedia melimpah di Sumatera Selatan. Provinsi ini memiliki 2.095 MW energi panas bumi atau hampir 10 % dari keseluruhan potensi nasional yang sebesar 29 GW. Potensi panas bumi tersebut tersebar pada beberapa Wilayah Kerja Panasbumi (WKP) seperti Danau Ranau, Lumut Balai – Margabayur, Rantau Dedap, Tanjung Sakti, dan Wai Selabung. Konsentrasi sumberdaya panas bumi di Sumatera Selatan dipengaruhi oleh kombinasi sumber panas magmatis yang berasal dari aktivitas gunung api Kuarter dan permeabilitas primer dan sekunder akibat rekahan dan/atau sesar yang terkait dengan sistem sesar Semangko. Berdasarkan kedua faktor tersebut, wilayah prospek sumber energi panas bumi meliputi Kabupaten Lahat, Kabupaten Muara Enim, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan [14].
Kelimpahan sumberdaya alam yang dimiliki Provinsi Sumatera Selatan merupakan anugerah Ilahi yang harus dimanfaatkan untuk kemakmuran bersama dengan tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang. Pengaturan sumberdaya alam yang berkelanjutan amat bergantung pada ketepatan di dalam menempatkan dan mempertautkan sistem lingkungan, sistem ekonomi, dan sistem sosial secara berimbang [15]. Tentu bukan sesuatu yang mudah, mengingat ketiga sistem tersebut dikendalikan oleh berbagai aktor yang saling bergulat mengaktualisasikan kepentingan dan eksistensinya.
Di negara ini, kewenangan atas sistem lingkungan lebih dominan dikuasai oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk penguasaan atas kawasan hutan, kawasan lindung, dan kawasan konservasi. Di berbagai tempat, penguasaan pusat ini membawa keengganan daerah untuk turut terlibat di dalamnya. Sementara itu, sistem ekonomi bukanlah sebuah ruang tertutup dimana kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah tidak bisa menjadi jaminan atas tertatanya sistem tersebut secara baik dan berkelanjutan. Kalangan swasta yang menjadi pengendali nyata atas sistem ini tidak saja berstatus level daerah maupun nasional, namun juga bersifat global. Percaturan ekonomi global akan berdampak bagi dinamika di dalam sistem ini. Sedangkan sistem sosial selalu berkaitan dengan keberagaman lanskap kehidupan masyarakat dan dinamika upaya yang ditempuh untuk meraih kualitas kehidupan yang baik. Memang, menjadi tugas pemerintah untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang baik, namun apabila tugas tersebut terabaikan, niscaya masyarakat akan bergerak secara mandiri untuk mewujudkannya.
Menilik dinamika yang berkembang saat ini, Provinsi Sumatera Selatan memiliki potensi yang menjanjikan untuk mampu menerapkan pendekatan pembangunan yang men-selaraskan sistem lingkungan, sistem ekonomi, dan sistem sosial. Pada tahun 2017, Gubernur telah menetapkan Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau Provinsi Sumatera Selatan—yang memuat 5 (lima) visi pertumbuhan—yakni Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, Pertumbuhan yang inklusif dan merata, Ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan, Ekosistem sehat dan produktif dalam menyediakan jasa lingkungan, dan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Sumatera Selatan juga telah meluncurkan Sistem Informasi Penataan Ruang atau SITARUNG yang bertujuan memperkuat sinergi dan integrasi dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian. Melalui sistem ini, diharapkanmasyarakat secara luas dapat turut berperan serta dalam melakukan pengawasan terhadap penegakan atas implementasi tata ruang.
[10] Selengkapnya lihat dokumen Master Plan Provinsi Sumatera Selatan sebagai Lumbung Energi Nasional Tahun 2006 – 2025 halaman II-11 – II-12.
[11] Sumber: http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2018/10/DBH.pdf.
[12] Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Wilayah Sumatera Bagian Selatan.
[13] Sumber: https://www.liputan6.com/regional/read/4001425/ribuan-sumur-minyak-ancam-hutan-di-sumsel-dan-jambi.
[14] Selengkapnya lihat dokumen Master Plan Provinsi Sumatera Selatan sebagai Lumbung Energi Nasional Tahun 2006 – 2025 halaman II-15 – II-17.
[15] Barbier dan Burgess (2017) menunjukkan keterkaitan antar sistem lingkungan, sistem ekonomi, dan sistem sosial dalam aplikasi pendekatan sistem untuk berkelanjutan (the systems approach to sustainability) dimana kemajuan yang berfokus pada satu tujuan di dalam sistem tertentu dapat menimbulkan konsekuensi bagi tujuan-tujuan dan sistem lainnya.
A. Memahami Tata Kelola Lanskap
Terus memburuknya kualitas ekosistem yang juga dibarengi dengan fenomena pemanasan global (global warming) makin hari semakin mengancam kelestarian alam dan keberlanjutan sumber penghidupan. Dari waktu ke waktu, ancaman akan berlangsungnya krisis pangan, air, dan energi semakin menyeruak dan kian masuk akal. Pertumbuhan penduduk yang pesat telah mengakibatkan penurunan neraca air yang harus dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, industri, irigasi, dan lain sebagainya. Lahan pertanian pun bukannya bertambah, namun semakin menyempit secara signifikan dari tahun ke tahun. Menurut catatan Dewan Energi Nasional (2014), cadangan energi fosil dari minyak bumi, gas alam, dan batubara tinggal tersisa tidak lebih dari 50 tahun [16]. Mitigasi, adaptasi, dan ketangguhan perubahan iklim (climate change resilence, adaptation, and mitigation) harus secepatnya diakselerasi pengembangannya. Sudah tidak banyak lagi waktu tersedia.
Ke depan, seyogyanya pengaturan sumberdaya alam tidak boleh lagi mengalami “salah urus”. Pertaruhannya tidak lagi sederhana. Memang bukan hal yang mudah. Semua pihak harus dapat menemukan titik kompromi dalam merumuskan keseimbangan atas kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Pemerintah musti mampu memerankan diri selayaknya pemimpin orkestra yang memandu keterpaduan dan keselarasan seluruh stakeholders di dalam memainkan kepentingan dan eksistensinya. Tanpa ada satu pun pihak yang terganggu dan dirugikan. Termasuk di dalamnya, keberlanjutan ekosistem pun harus tetap dapat terjamin sebagai bagian dari kepentingan dan eksistensi generasi mendatang.
Berkaitan dengan hal tersebut, pengaturan sumberdaya alam dalam satuan bentang alam (landscape) layak diperhitungkan sebagai salah satu pendekatan untuk keberlanjutan (the approach to sustainability). Denier et al. (2015:26) mendefinisikan lanskap sebagai sebuah sistem sosial dan ekologi yang terdiri dari ekosistem alami dan/atau ekosistem hasil modifikasi manusia, dan yang dipengaruhi oleh kegiatan ekologi, historis, politik, ekonomi, dan budaya yang berbeda-beda. Pengaturan ruang dan tata kelola lanskap berkontribusi pada karakternya yang unik. Dalam sebuah lanskap, kemungkinan terdapat berbagai bentuk penggunaan lahan, seperti pertanian, kehutanan, konservasi keanekaragaman hayati, dan daerah perkotaan. Para pelaku yang mengelola bentuk-bentuk penggunaan lahan ini memiliki tujuan yang berbeda-beda, misalnya konservasi keanekaragaman hayati, produktivitas pertanian, atau ketahanan mata pencaharian.
Secara umum, tata kelola lanskap (landscape governance) didefinisikan sebagai proses kompromi atas interaksi kepentingan dari multi-sektor, multi-aktor, multi-level administrasi wilayah, dan bagaimana pengambilan keputusan pengelolaan pada spasial lanskap, bukan pada atau bukan hanya pada salah satu fungsi ruang saja (Sunderland, 2014). Dimaksudkan pada pengembangan sasaran kebijakan spesifik mengenai lanskap, bukan pada tujuan yang bersifat sektoral atau individual, landscape governance merupakan sebuah jalan untuk meraih tujuan lingkungan, ekonomi, dan sosial secara bersamaan. Sementara itu, Graaf et al. (2017:5) mendefinisikan landscape governance sebagai seperangkat aturan (kebijakan dan norma kultural) dan proses pengambilan keputusan dari para pelaku yang berkepentingan dari sektor publik, swasta, dan sipil yang mempengaruhi tindakan-tindakannya pada bentang alam.
[16] Lihat Pratiwi dan Mulyana (2016:104).
Sayer et al. (2013:3-4) menyampaikan 10 prinsip yang mewakili konsensus pendapat dari sejumlah pelaku utama tentang bagaimana produksi pertanian dan konservasi lingkungan dapat diintegrasikan dengan baik pada skala lanskap yakni:
- Continual learning and adaptive management (pembelajaran berkelanjutan dan pengelolaan adaptif).
- Common concern entry point (kepedulian bersama sebagai titik masuk).
- Multiple scales (multi-skala).
- Multifunctionality (multi-fungsi).
- Multiple stakeholders (melibatkan berbagai pemangku kepentingan).
- Negotiated and transparent change logic (logika perubahan yang dinegosiasikan dan transparan).
- Clarification of rights and responsibilities (kejelasan hak dan tanggung jawab).
- Partipatory and user-friendly monitoring (pemantauan yang partisipasi dan ramah pengguna).
- Resilience (ketangguhan).
- Strengthened stakeholder capacity (memperkuat kapasitas para pemangku kepentingan).
Inisiatif pendekatan lanskap lebih memiliki tujuan yang bersifat jangka panjang, meskipun difokuskan untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi pada saat ini. Harus disadari dan dipahami, bahwa persoalan dan tantangan yang timbul di dalam sebuah bentang alam (landscape) selalu saling kait-mengait dan pengaruh-mempengaruhi dengan bentang penghidupan (lifescape). Keduanya tidak boleh diatur secara terpisah.
Lebih lanjut, Sayer et al. (2013:6) juga menggambarkan perbedaan kontras antara pendekatan sektoral dan pendekatan lanskap untuk masalah lingkungan sebagaimana tergambar pada tabel berikut ini:

Kebijakan pemerintah tentunya dibutuhkan dalam rangka mengatur kewenangan instansi yang ada dan kepentingan atas penggunaan sumberdaya di dalam bentang alam. Kebijakan tersebut juga dapat menjadi dasar bagi penyelesaian berbagai konflik multi sektor dan multi level administrasi wilayah di dalam sebuah lanskap. Tentunya, komitmen dari para pemangku kepentingan merupakan modal utama yang harus dibangun dan diperkuat pada tahap permulaan. Dan, pada gilirannya, aksi bersama (collective action) oleh para pemangku kepentingan yang didukung dengan kerangka regulasi pengaturan bersama (collaborative governance) akan memberikan dampak bagi peningkatan ekonomi, keberlanjutan ekosistem, dan keberdayaan warga. Leadership pemerintah diperlukan untuk menjadi motor penggerak yang aktif dan dominan untuk terus melakukan konsolidasi gagasan dan sinergi tindakan bersama.
Kemitraan yang inklusif (inclusive collaboration) merupakan esensi tata kelola lanskap (landscape governance). Kemitraan inklusif adalah kemitraan yang melibatkan para pihak terkait secara aktif dan integratif dalam pengelolaan berbagai program dan kegiatan secara keruangan, waktu, penganggaran, dan kelembagaan, serta berlandaskan data, informasi, dan permodelan yang sahih. Konsep kemitraan para pihak ini disusun dengan melibatkan mobilisasi otoritas publik dari berbagai tingkat yurisdiksi secara simultan, organisasi non-pemerintah dan swasta, sekaligus berbagai gerakan sosial yang ada (Piattoni 2010). Secara rinci, kemitraan yang kokoh membutuhkan 5 (lima) elemen utama—meliputi:
- Platform berbagai pemangku kepentingan,
- Pemahaman bersama tentang kondisi lanskap, tantangan, dan peluang,
- Perencanaan kolaboratif untuk mengembangkan rencana aksi yang telah disepakati,
- Pelaksanaan rencana secara efektif dengan perhatian pada mempertahankan komitmen kerjasama, dan
- Pemantauan pengelolaan yang adaptif dan akuntabel.
Berbagai “entry point” dapat dijadikan platform bersama dalam pengelolaan lanskap misalnya perubahan iklim, restorasi ekosistem, konservasi satwa, kebakaran hutan, pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya. Namun demikian, esensi pengaturan lanskap tetap harus terus dikonsolidasikan yakni keselarasan tindakan bersama (collaborative action) yang dilandasi komitmen pengaturan bersama yang dirumuskan secara deliberaif untuk mewujudkan kemakmuran, keberlanjutan ekosistem, dan keberdayaan masyarakat.
Oleh: Rohny Sanyoto dan Akhmad Arief Fahmi
Referensi:
Arts, B., Buizer, M., Horlings, L., Ingram, V., van Oosten, C. and Opdam, P., 2017. Landscape Approaches: A State-of-the-Art Review. Annual Review of Environment and Resources.
Axelsson, R., 2009. Landscape Approach for Sustainable Development. Swedish University of Agricultural Sciences.
Bahktiar, Irfan et al., 2019. Hutan Kita Bersawit: Gagasan Penyelesaian untuk Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan, Yayasan KEHATI, Jakarta
Barbier, Edward B., dan Burgess, Joanne C., 2017. The Sustainable Development Goals and The System Approach to Sustainability, Economics Discussion Papers No. 2017-28, Kiel Institute for the World Economy, Wyoming – USA.
Denier, Louisa, 2015. The Little Sustainable Landscapes Book: Achieving Sustainable Development through Integrated Landscape Management, Global Canopy Programme, Oxford.
Graaf, Maartje de et al., 2017. Assesing Landscape Governance: A Participatory Approach, Tropenbos International and EcoAgriculture Partners.
Oosten, C., Dorji, T., Rathore, B., Pradhan, N., and Choigey, T., 2017. Strengthening Landscape Governance Capacities in Bhutan, International Centre for Integrated Mountain Development, Nepal.
PASPI, 2016. Industri Minyak Sawit Sumatera Selatan Berkelanjutan, PASPI, Bogor.
Pratiwi, Nila Ardhyarini H. dan Mulyana, Wahyu, 2016. Analisis Dinamika Kebijakan untuk Mewujudkan Ketangguhan Iklim, Urban and Regional Development Institute, Jakarta.
Reed, James et al., 2016. Integrated Landscape Approaches to Managing Social and Environmental Issues in The Tropics: Learning from The Past to Guide The Future, Global Change Biology (2016) 22, 2540 – 2554.
Sayer, Jeffrey et al., 2013. Ten Principles for a Landscape Approach to Reconciling Agriculture, Conservation, and Other Competing Land Uses, Article in Proceedings of the National Academy of Sciences, May 2013.
Sayer, Jeffrey et al., 2014. Landscape Approaches: What Are The Pre-conditions for Success ?, Springer, Japan.
Sayer, Jeffrey et al., 2016. Measuring The Effectiveness of Landscape Approaches to Conservation and Development, Springer, Japan.
Dokumen
BPS, 2019. Profil Kemiskinan di Indonesia September 2018, Berita resmi statistik No. 07/01/Th. XXII, 15 Januari 2019.
BPS Banyuasin, 2019. Banyuasin dalam Angka 2019.
BPS Musi Banyuasin, 2019. Kabupaten Musi Banyuasin dalam Angka 2019.
BPS Sumsel, 2019. Provinsi Sumatera Selatan dalam Angka 2019.
Dishut Sumsel, 2017. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Provinsi Sumatera Selatan (SeHati Sumsel) 2017 – 2021.
Pemprov Sumsel, 2006. Master Plan Provinsi Sumatera Selatan sebagai Lumbung Energi Nasional Tahun 2006 – 2025, Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Universitas Sriwijaya.
Penabulu, Yayasan, 2019. Kajian Kelembagaan Kemitraan Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan: Lanskap Sembilang-Dangku Provinsi Sumatera Selatan.
Peraturan Perundangan-undangan
Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Kelembagaan Green Growth Plan dan Kelembagaan Kemitraan Pengelolaan Lansekap Ekoregion Provinsi Sumatera Selatan.
Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 21 Tahun 2017 Tentang Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau Provinsi Sumatera Selatan.
Website
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190831001310-20-426302/tambang-ilegal-sumsel-rugikan-negara-ratusan-miliar-per-tahun
https://muamala.net/daerah-penghasil-minyak-bumi/.
https://finance.detik.com/energi/d-4438583/temuan-gas-di-sakakemang-sumsel-disebut-terbesar-ke-4-dunia.