Ketika pemerintah menetapkan target 17 juta hektar lebih kawasan hutan harus di “redistribusi” kepada masyarakat desa hutan melalui kebijakan Perhutanan Sosial, sesaat kemudian dunia kehutanan disibukkan dengan hiruk-pikuk pengurusan legalitas lahan kelola masyarakat di dalam kawasan hutan. Pada perkembangnya ribuan petani dengan cepat mendapatkan hak kelola legal di dalam kawasan hutan dengan berbagai skema baik Hutan Kemasyaralkatan, Hutan Desa, Kemitraan maupun Hutan Adat. Untuk kawasan konservasi, masyarakat mendapatkan akses ke dalam kawasan melalui skema kemitraan konservasi.
Kebijakan membuka akses legal masyarakat ke dalam kawasan hutan dilatarbelakangi oleh karakter tata kelola hutan yang selama ini cenderung tertutup bagi masyarakat, hak kelola kawasan hutan banyak diberikan ke perusahaan-perusahaan besar sementara masyarakat desa hutan cenderung dibatasi hak kelolanya. Implikasinya adalah masyarakat hidup miskin di tengah-tengah sumberdaya hutan yang melimpah di sekitar mereka.
Namun melalui kebijakan Perhutanan Sosial ini, nampaknya tata-kelola hutan ke depan akan memberikan peluang bagi peran serta masyarakat. Ini tidak mudah, karena hampir setengah abad masyarakat dijauhkan dari mengenal tata-kelola hutan yang baik. Pengelolaan sumberdaya hutan selama ini cenderung eksklusif hanya di tangan pemerintah dan perusahaan besar. Ke depan pengelolaan hutan harus bersifat inklusif, terbuka dan memberikan kontribusi manfaat kepada banyak pihak, utamanya masyarakat desa hutan. Ini tidak mudah karena persoalan sosial di dalam dan sekitar kawasan hutan sudah terlanjur pelik: lahan illegal, pemukiman illegal, fasilitas umum illegal, masyarakat yang tak jelas identitas kependudukannya, tingkat pendidikan masyarakat rendah, aksesibilitas, dan banyak lagi daftar agenda sosial yang membebani tata-kelola kawasan hutan untuk memenuhi kriteria tata kelola hutan yang baik. Persoalan klasik pun belum juga usai tertangani seperti tata batas kawasan dengan wilayah desa dan juga lahan kritis yang belum tertangani dengan baik. Namun cita-cita mendobrak tata kelola hutan yang eksklusif sudah dicanangkan, tinggal bagaimana semua pihak dapat bersinergi dan bahu membahu mewujudkan wajah pengelolaan hutan yang lebih inklusif ke depan.
Area ini merupakan salah satu ekosistem hutan yang masih tersisa di Sumatera Selatan. Sebaran kawasan berhutan di area model ini dan sekitarnya sekaligus menunjukkan fragmentasi habitat dan keterancaman populasi mamalia besar seperti harimau sumatera, gajah sumatera, beruang madu dan tapir. Pada bgian utara Area ini merupakan kawasan restorasi PT REKI. Kawasan restorasi ekosistem PT REKI dan kawasan konservasi SM Dangku sama‐sama menghadapi masalah pembalakan liar, perambahan kawasan, konflik pengelolaan kawasan dan juga konflik manusia dengan satwa liar. Keberadaan KPHP Meranti, yang sebagian besar didominasi oleh kawasan hutan produksi, di antara kedua kawasan tersebut memberikan peluang dan tantangan tersendiri dalam mendorong pihak swasta pemegang ijin konsesi untuk dapat berperan dan terlibat aktif dalam pengembangan koridor konservasi satwa, pelestarian kawasan ekosistem esensial dan juga dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Area ini meliputi kawasan hutan KPHP Meranti dan Suaka Margasatwa Dangku. KPHP Meranti memiliki luasan 244.162 Ha, yang terdiri dari 134.596 Ha luasan hutan produksi, 97.587 Ha hutan produksi terbatas dan 20.081 Ha hutan lindung. KPHP Meranti berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Suaka Margasatwa (SM) Dangku seluas 47.996,45 Ha di sebelah timur. KPHP Meranti ditetapkan melalui SK Penetapan No. SK.439/MenhutII/2012 tanggal 09/08/2012.

Isu utama pada area ini meliputi; konflik lahan, lahan kritis, aksesibilitas desa-desa Hutan, kependudukan, konflik manusia dan satwa. Konflik peruntukan ataupun pemanfaatan lahan hutan masih banyak terjadi di kawasan ini. Berbagai bentuk konflik lahan yang ada diantaranya meliputi; a) pemanfaatan kawasan hutan untuk pemukiman masyarakat; b) pemanfaatan kawasan hutan yang dikelola masyarakat tanpa melalui proses legal; c) pemanfaatan kawasan hutan untuk fasilitas umum: sekoah, puskesmas, sarana ibadah; d) tata batas desa; e) konflik lahan masyarakat dengan perusahaan pemegang ijin. Suaka Margasatwa Dangku yang menjadi bagian dari Area yang mengalami konflik pemanfaatan lahan dengan masyarakat dan juga dengan perusahaan. Perambahan terjadi di 4 desa yaitu Desa Sungai Napuh (242 KK), Desa Sungai Petai (555 KK), Desa Sungai Biduk (139 KK), Desa Rebon Jaro (66 KK), sementara itu dalam hal illegal logging terdapat 6 Sawmill yang beroperasi di sekitar kawasan yang diduga menggunakan bahan baku dari dalam kawasan.
Secara keseluruhan, lahan dengan klasifikasi sangat kritis pada araea ini seluas 5.872,89 ha (2,41%). Wilayah ini tersebar pada Blok Pemanfaatan IUPHHK-RE (277,16 ha atau 0,11%), Blok HP Pemanfaatan IUPHHK-HT (5.019,50 ha atau 2,06%),Blok HP_Pemberdayaan Wilayah Tertentu (228,04 ha atau 0,09%) dan HP_Perlindungan IUPHHK-HT (349,19 ha atau 0,14%). Sedangkan lahan dengan klasifikasi kritis berjumlah 11.294,03 ha (4,63%). Lahan kritis ini terdapat di Blok HL Pemanfaatan Wilayah Tertentu (90,17 ha atau 0,04%) dan Blok HP Pemanfaatan IUPHHK-HT (7.904,38 ha atau 3,24%), Blok HP_Pemberdayaan Wilayah Tertentu (2.549,60 ha atau 1,04%) dan HP_Perlindungan IUPHHK-HT (749,88 ha atau 0,31%).

Pada area ini memiliki banyak desa-desa yang merupakan bagian wilayah administratif dari kawasan KPHP Meranti dan juga dari Suaka Margasatwa Dangku. Sebagian desa-desa ini umumnya mempunyai kendala aksesibilitas baik di dalam maupun antar desa. Kendala aksesibilitas ini disebabkan adanya hambatan dalam pembangunan infrastruktur jalan desa maupun jalan antar desa. Jalan-jalan yang ada saat ini masih berada di dalam kawasan hutan dan hal tersebut menghambat penggunaan dana pembangunan daerah APBD Kabupaten untuk mendukung pembangunan jalan. Saat ini masih dipahami bahwa APBD Kabupaten Musi Banyuasin tidak dapat digunakan untuk membangun maupun memperbaiki jalan tersebut. Hal ini menyebabkan biaya transportasi yang mahal bagi masyarakat desa dan akhirnya menghambat perkembangan ekonomi mereka
Aspek kependudukan masih menjadi kendala bagi masyarakat desa hutan yang ada di Area model ini. Administrasi kependudukan masih belum memadai dan banyak penduduk yang belum mempunyai data kependudukan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
- Banyaknya pendatang yang merambah kawasan hutan dan tidak melapor ke pemerintah desa
- Pemukiman yang terpencar-pencar menyulitkan pencatatan penduduk.
- Aksesibilitas yang masih sulit menyebabkan biaya pengurusan yang mahal
- Adanya Suku Anak Dalam yang masih bersifat nomaden
Lemahnya data kependudukan ini sangat berpengaruh pada akses mereka terhadap program-program pemerintah dan layanan pemerintah seperti dalam hal kesehatan dan pendidikan.
Area ini mempunyai beragam fungsi kawasan hutan, baik fungsi konservasi, lindung, maupun fungsi produksi. Kawasan konservasi seperti Suaka Margasatwa Dangku dan juga kawasan hutan restorasi yang dikelola PT. REKI diharapkan menjadi tempat berlindung dari berbagai jenis satwa langka seperti Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Beruang Madu, Beruk, Monyet Daun, dll. Namun hal ini tidak selalu selaras dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan juga perusahaan dalam mengembangkan ekonomi maupun produktivitasnya.
Perambahan kawasan konservasi dan hutan lindung oleh masyarakat terus menekan habitat berbagai satwa langka diatas. Dilain sisi usaha-usaha perusahaan yang cenderung monokultur juga menyebabkan keterbatasan ruang hidup dan sumber-sumber pangan satwa-satwa ini. Masyarakat dan perusahaan juga seringkali menghadapi gangguan dari hewan-hewan liar ini seperti gangguan dari babi hutan, monyet ekor panjang dan juga beruk. Perburuan liar terhadap satwa-satwa langka juga masih sering dilaporkan terjadi di kawasan ini
