Perspektif
Lanskap
Lingkungan
Lingkungan
Lingkungan & Kebencanaan
Lanskap
Tata Kelola Lanskap: Tantangan Keterbukaan Sekaligus Kebersamaan Parapihak Untuk Mewujudkan Keberlanjutan di Tingkat Lanskap
“Tantangan besar di zaman kita adalah membangun dan memelihara komunitas yang berkelanjutan-komunitas yang dirancang sedemikian rupa sehingga hidup, bisnis, ekonomi, struktur fisik, dan teknologi tidak mengganggu kemampuan bawaan alam untuk menopang kehidupan” (Fritjhof Capra)
Mengenal Pendekatan Lanskap
Pada tingkat global kita menghadapi tantangan yang cukup pelik dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun kualitas lingkungan hidup. Kebutuhan dasar manusia seperti kebutuhan produksi pangan terus meningkat seiring terus berkembangnya populasi manusia. Badan Pangan Dunia (FAO) memperkirakan kebutuhan produksi pangan akan meningkat hingga 70% pada 2050 dimana populasi manusia diperkirakan akan mencapai 9,1 milyar. Di lain pihak ketersediaan faktor-faktor pendukung kehidupan seperti, tanah, air, kesuburan tanah, dan juga keragaman hayati terus mengalami penurunan.
Banyak kontradiksi yang kita hadapi dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar. Intensifikasi produksi pangan menjawab kebutuhan pangan namun dapat mengganggu fungsi jasa lingkungan yang akhirnya mempengaruhi kesehatan ataupun penghidupan masyarakat itu sendiri. Untuk melakukan mitigasi perubahan iklim dan melindungi keragaman hayati dari kepunahan, membutuhkan pengorbanan dari sisi produksi dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan demikian pula sebaliknya. Permasalahan ini harus disikapi dengan langkah-langkah terpadu. Cara-cara sektoral yang saat ini masih dominan digunakan sudah terbukti tidak mampu mengatasi persoalan yang ada saat ini. Pendekatan lanskap telah mengemuka sebagai salah satu solusi.
Lanskap dalam kaitannya dengan pendekatan lanskap diartikan sebagai sebuah sistem sosial dan ekologi yang terdiri dari ekosistem alam dan/atau ekosistem modifikasi manusia, dan yang dipengaruhi oleh kegiatan ekologi, historis, politik, ekonomi dan budaya yang berbeda-beda. Pengaturan ruang dan tata kelola lanskap berkontribusi pada karakternya yang unik. Pendekatan lanskap sendiri sebenarnya bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Upaya-upaya yang menekankan keterpaduan agenda-agenda lingkungan dan pembangunan telah dipromosikan secara konsisten dalam kurun 40 tahun belakangan ini, baik dari sisi literatur maupun konferensi-konferensi internasional.
Pada pertengahan 1980-an terjadi pergeseran paradigma yang berasal dari komunitas-komunitas konservasi dan juga adanya kemunculan disiplin baru tentang ekologi lanskap (landscape ecology). Beberapa inisiatif seperti Wildlands and Human Needs Programme dari WWF, Dialog Kebijakan seperti Brundtland Report, KTT Bumi 1992 dan Agenda 21 menghasilkan transisi dari pendekatan konservasi yang juga memperhitungkan kebutuhan masyarakat pedesaan dengan memperkenalkan dan menggunakan pendekatan multi-functional lanscapes.
Setelah KTT Bumi di Rio Pendekatan Lanskap dihubungkan dengan Pembangunan Berkelanjutan yang mendorong pendekatan lintas sektor, multipihak, dan keterpaduan kebijakan dalam skala yang memadai, termasuk lanskap. Saat ini pendekatan lanskap dihubungkan dengan kebijakan terkait perubahan iklim dimana pengelolaan sumberdaya alam secara terpadu dan perencanaan penggunaan lahan secara terpadu–khususnya pertanian dan kehutanan-dibutuhkan sebagai mitigasi perubahan iklim selain transisi penggunaan bahan bakar non fosil.
Pendekatan lanskap atau sering juga disebut dengan pengelolaan lanskap terpadu (integrated landscape management) merupakan pendekatan yang multidimensi. Semua dimensi yang ada pada lanskap seharusnya menjadi pertimbangan dalam mengembangkan pendekatan lanskap ini. Pendekatan lanskap harus mempertimbangkan dimensi ekologi hingga ekonomi, dan juga dimensi sosial-budaya hingga aspek politik yang mempengaruhi dinamika pengelolaan di tingkat lanskap.
Pendekatan lanskap merupakan jalan untuk mengembangkan, mempererat “konektivitas” antar aktor untuk mewujudkan visi bersama pembangunan berkelanjutan |
Pendekatan lanskap merupakan jalan untuk mengembangkan, mempererat “konektivitas” antar aktor untuk mewujudkan visi bersama pembangunan berkelanjutan. Pemerintah-masyarakat-swasta harus mengembangkan pemahaman dan visi bersama tentang masa depan kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup mereka. Lebih jauh lagi parapihak dituntut untuk dapat mengembangkan konsep, sistem dan juga perangkat untuk dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan yang saling berkompetisi pada tingkat lanskap. Pendekatan lanskap berusaha menyediakan alat dan konsep untuk mengalokasikan dan mengelola lahan untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan di wilayah di mana pertanian, pertambangan, dan lahan produktif lainnya bersaing dengan tujuan lingkungan dan keanekaragaman hayati.[6]
Lanscape Governance: Tata Kelola Lanskap
Dalam mengimplementasikan pendekatan lanskap kita perlu mengenali dan memahami apa yang disebut sebagai landscape governance (secara sederhana dapat kita artikan sebagai tata kelola lanskap). Dalam hal ini pendekatan lanskap dapat diartikan sebagai cara pandang kita terhadap lanskap itu sendiri sedangkan untuk menjalankan atau mengoperasikan cara pandang tadi kita perlu menjalankan sejumlah agenda, inisiatif, membangun visi bersama dengan para aktor yang ada pada sebuah lanskap, dan dengan demikian kita menjalankan atau mengembangkan inisiatif yang kemudian disebut sebagai lanscape governance. Lanscape governance adalah salah satu istilah yang menggambarkan bagaimana para pihak saling berelasi satu dengan yang lain pada suatu unit lanskap. Governance sendiri mencerminkan sebuah sistem ataupun dinamika di dalam sebuah komunitas (society). Governance adalah seperangkat aturan, kebijakan, hubungan formal dan non formal yang digunakan dan dijadikan daar bagi komunitas dalam mengambil keputusan-keputusan diambil (decision making process), menyusun agenda dan visi bersama dan juga bagaiamana kepentingan didialogkan dan dinegosiasikan.
Kozar et al. (2014) conclude above all that landscape governance is inherently multi-level, multi-sector and multi-actor in nature, and therefore requires strategies and mechanisms for aligning rules and coordinating decision-making processes among these different levels, sectors and actors. Landscape governance is concerned with designing and implementing institutional arrangements, decision-making processes and policy instruments, and with building on the underlying social values through which multiple actors can collaboratively pursue their interests in sustainable landscapes. In addition to ensuring effective coordination mechanisms, landscape governance also includes application of general “good governance” principles to rules and decision-making in the landscape. Examples of such principles are inclusion, transparency and accountability, among others. To support these principles, landscape governance is also concerned with generating and communicating relevant knowledge and information, and with collaborative learning and capacity building among stakeholders in the landscape.
Langkah-langkah dalam Mengembangkan Tata Kelola Lanskap
Dengan mengacu pada pemahaman dan visi yang sama tentang pendekatan lanskap, beberapa pihak ataupun organisasi menyusun dan mengembangkan strategi ataupun langkaj-langkah dalam mengimplementasikan pendekatan lanskap ini. Yayasan Resiliensi Lingkungan Indonesia, memilih beberapa elemen berikut ini dalam mengimplementasikan tata kelola lanskap, yaitu:
- Analisis geografis dan kewilayahan (Geographical and Jurisdictional Analysis)
- Analisis parapihak secara inklusif (Inclusive Stakeholders Analysis)
- Analisis rantai nilai dan potensi ekonomi sirkuler (Value Chains and Circular Economy Analysis)
- Analisis isu-isu utama dan Indikator kunci keberlanjutan (Main Issues and Sustainability Key Indicators Analysis)
- Pengembangan visi bersama dan perencanaan kolaboratif (Development of Common Vision and Collaborative Planning)
- Pengembangan wadah bersama dan sistem pemantauan dan evaluasi kolaboratif (Development of Common platform and Collaborative Monitoring/Evaluation)
Dalam menjalankan pendekatan lanskap ini elemen-elemen diatas seharusnya dapat terpenuhi atau disusun bersama-sama parapihak. Pemahaman tentang karakteristik geografis dan juga informasi-informasi yang bersifat yurisdiktif atau kewilayahan merupakan hal awal yang harus dipenuhi sebelum melangkah pada tahapan ataupun proses-proses selanjutnya. Parapihak ataupun aktor yang terdapat pada unit lanskap perlu ditelaah peran, fungsi dan kepentingannya. Dalam hal ini analisis terhadap potensi ataupun fakta tentang konflik antarpihak juga perlu diidentifikasi. Untuk setiap lanskap yang didalamnya terdapat aktivitas manusia sangat memungkinkan terjadinya beberapa konflik kepentingan antar aktor yang ada. Analisis terhadap stakeholders di dalam lanskap perlu dilakukan secara inklusif sehingga dapat memastikan tidak ada satu pihak pun yang tertinggal dan atau salah satu pihak, terutama perhatian pada mereka yang rentan, marginal dan voiceless. Parapihak di lanskap perlu bersama-sama untuk menentukan isu-isu utama yang akan menjadi agenda bersama menuju keberlanjutan. Untuk itu sangat penting bagi parapihak untuk menentukan indikator-indikator kinerja bersama terkait dengan visi keberlanjutan di tingkat lanskap.
Secara khusus dalam merespon kepentingan ekonomi parapihak maka penting kiranya untuk memahami atau menganalisa tentang rantai nilai yang terjadi di dalam lanskap dan area sekitarnya. Hal ini penting untuk kemudian menganalisa dan men-design potensi dikembangkannya sirkular ekonomi sebagai bagian dari pengembangan ekonomi yang berkelanjutan di dalam lanskap. Pengembangan ekonomi sirkular dapat menjadi salah satu pendekatan pembangunan ekonomi dalam mendukung keberlanjutan lanskap dan keberlanjutan komunitas.
Untuk memandu dinamika bersama-sama parapihak di tingkat lanskap perlu adanya upaya untuk menyusun rencana bersama secara kolaboratif. Rencana kolaboratif ini dapat disusun dari rencana-rencana yang berasal dari para aktor di tingkat lanskap dan kemudian diintegrasikan dalam perspektif ruang, waktu, sasaran ataupun capaian bersama. Untuk mengetahui perkembangan dan capaian maka landscape governance perlu didukung oleh mekanisme monitoring dan evaluasi secara kolaboratif. Monitoring dilakukan untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan program/agenda bersama, sedangkan evaluasi dapat digunakan untuk mengukur, menakar capain dari visi dan agenda bersama berdasarkan indikator-indkator kunci yang telah disepakati dalam proses sebelumnya.
Lingkungan
Resiliensi Lingkungan: Bumi Kita Yang Hebat
“Fortunately, nature is amazingly resilient: places we have destroyed, given time and help, can once again support life, and endangered species can be given a second chance. And there is a growing number of people, especially young people, who are aware of these problems and are fighting for the survival of our only home, Planet Earth. We must all join that fight before it is too late” (Dr. Jane Goodall)
Pernahkah kita berpikir lebih dalam atau setidaknya membayangkan tentang bumi tempat kita berpijak yang selalu memberikan penghidupan secara cuma-cuma, melimpah dan juga tak pernah berhenti. Bumi mempunyai segalanya: bahan baku, sistem produksi, produk jadi siap santap bagi berbagai makhluk hidup yang bergantung padanya. Tanah, air, udara, cahaya matahari, bahan organik adalah bahan baku, metabolisme pada makhuk hidup (hewan, tumbuhan, dan mikrorganisme) dan juga dinamika ekosistem dan sub ekosistem adalah sebuah rangkaian proses produksi yang tidak pernah berhenti menghasilkan sumber energi maupun mengolah limbah. Sinar matahari tidak pernah istirahat, air terus saja berputar mengikuti siklus hujan, hutan menghidupi berbagai tumbuhan, padang rumput dan savanna menghidupi berbagai jenis herbivora dan carnivora sekaligus laut, sungai dan danau terus menaungi ribuan ragam ikan dan crustacea. Sumber energi pun dipersembahkan bumi bagi kita: gas alam, batu bara, minyak bumi, dll dan juga aneka unsur logam untuk menopang kehidupan. Pemandangan yang indah pun bisa kita pilih: pantai, hamparan ngarai, goa, puncak gunung, terumbu karang, mangrove, padang savanna, belum lagi jutaan keindahan dan keunikan berbagai spesies hewan dan tumbuhan di darat maupun di air. (Jika kita rusak) Bumi juga mempunyai mekanisme daur ulang dan juga memulihkan diri dari kerusakan, inilah yang (secara sederhana) kita pahami sebagai resiliensi bumi. Jika direnungkan, Bumi benar-benar telah menyediakan segalanya untuk menopang kehidupan manusia.
Lantas, atas nama pemenuhan kebutuhan, manusia seolah hilang kesadaran bahwa bumi telah bekerja untuknya, manusia terus menguras isi bumi, merusaknya bahkan beberapa komponennya pun telah hilang, punah. Namun bumi tetap bertahan, mencoba bertahan, berevelosi lagi, memperbaiki diri lagi dengan segala daya resiliensi yang dia punya, hutan yang rusak berupaya tumbuh lagi, bekas-bekas tambak yang cemar mencoba membangun kesuburannya kembali, tanah-tanah gersang bekas tambang mencoba menumbuhkan rumput dan lumut untuk memulai kehidupannya kembali, bermilyar-milyar mikroorganisme bekerja siang malam mengolah ribuan ton sampah yang kita hasilkan tiap hari. Namun sungguh resiliensi bumi tidak akan pernah berarti jika kita terus menerus melukai dan mencemari bumi.
Ditengah-tengah kemelimpahan layanan bumi terhadap kehidupan, kita masih menjumpai banyak sekali manusia yang masih hidup menderita, bahkan hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan air bersih ataupun udara bersih. Di lain pihak segelintir manusia berkuasa atas sejumlah sumberdaya yang disediakan bumi. Sungguh Bumi, Langit, dan Matahari tidak pernah pilih-pilih dan tidak akan pernah Lelah untuk memberikan nafas kehidupan bagi siapapun yang hidup, persoalannya adalah kita sendiri yang lebih suka berebut daripada sekedar berbagi.
Lingkungan
Menjaga Lingkungan Pada Batas Kemampuan Resiliensinya
Pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia menghadirkan berbagai fenomena perubahan yang terjadi pada ekosistem alami. Peradaban manusia mengalami berbagai fase perkembangan dari fase 1.0. Berburu dan Meramu, 2.0. pertanian, 3.0. industrial, dan 4.0. masyarakat informasi. Era industrial ditandai dengan pemanfaatan sumberdaya alam secara masif baik di darat maupun di laut. Didarat manusia memerlukan berabagai bahan mineral dan juga hutan untuk menopang industrialisasi. Eksploitasi sumberdaya laut (ikan) juga terjadi secara masif dengan berkembangnya kapal-kapal pencari ikan dengan kapasitas sangat besar dan didukung oleh teknologi pencari ikan. Tak hanya itu proses pengolahan ikan pun dapat dilakukan di tengah-tengah lautan. Ekosistem alami dibuka, dimanfaatkan dan pada titik tertentu bisa dikatakan dirusak, dihancurkan, dan dalam konteks keanekaragaman-hayati kita mengenal apa yang disebut sebagai kepunahan atau hilangnya spesies tertentu dan tak mungkin lagi kembali. Industrialisasi tidak hanya membutuhkan dukungan teknologi dan organisasi produksi dan pemasaran yang canggih, tapi juga menyebabkan terkurasnya sumberdaya alam. Sumberdaya alam dieksploitasi untuk mencukupi bahan baku dan juga energi untuk menopang industrialisasi. Salah satu sumber energi murah dan digunakan secara masal adalah batu bara. Sayangnya penambangan batu bara menghasilkan dampak kerusakan lingkungan yang cukup massif. Penggunaannya pun menghasilkan polutan yang mencemari udara.
Indonesia merupakan salah satu negara yang di anugerahi ekosistem yang sangat penting, yaitu hutan hujan tropis. Hutan mempunyai fungsi ekologi dan juga fungsi ekonomi. Dalam kurun 1980-2000 pemanfaatan hutan untuk menopang pembangunan ekonomi terjadi secara besar-saran. Dampaknya adalah kerusakan hutan yang sangat parah, kehilangan keanekaragaman hayati, dan meningkatnya resiko banjir, dan kebakaran lahan dan hutan. Data resmi pemerintah menyatakan bahwa luas kawasan di Indonesia adalah 128 juta ha. Dalam kurun waktu tahun 1985-1998 deforestasi yang terjadi diperkirakan pada angka 1,6-1,9 juta ha per tahun (Dephutbun, 2000). Forest watch Indonesia memperkirakan laju deforestasi pada tahun 2000 mencapai angka 2 juta ha per tahun. Akibat deforestasi dan juga degradasi hutan, tutupan hutan kita menjadi jauh berkurang, dari 128 juta ha kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah, diperkirakan hanya sekitar 86,9 juta ha yang mempunyai tutupan hutan.[1]
Pemenuhan kebutuhan manusia melalui proses industrialisasi juga meningkatkan laju kepunahan spesies. Secara teoritik spesies dapat punah secara alamiah maupun karena disebabkan oleh aktivitas manusia. Laju kepunahan alami diperkirakan sekitar satu spesies per tahun, sekarang diperkirakan menjadi 10.000 kali lebih cepat, atau satu spesies per jam dan hampir seluruh kehilangan spesies ini disebabkan oleh aktivitas manusia. Kita mungkin telah menghilangkan 1 juta spesies, dan beberapa juta lagi akan hilang pada dekade pertama abad ke-21. Over eksploitasi dan kepunahan pada tingkat habitat menjadi faktor yang mempercepat laju kepunahan ini. Ini semua terjadi akibat dari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Resiliensi Lingkungan: Sebatas apa?
Memanfaatkan alam atau sumberdaya alam merupakan konsekuensi logis dari keinginan masyarakat dalam meraih kesejahteraan. Bumi dan lingkungan hidup pun mempunyai kemampuan untuk pulih lagi: Tanah terus memproduksi kesuburan, pepohonan berbuah sepanjang tahun, ikan di laut beranak-pinak tanpa henti, pohon-pohon mampu menyerap zat pencemar udara, angin mampu menggerakkan turbin yang dapat memproduksi listrik, air terjun memberikan sumber energi gravitasi, matahari tidak pernah tidur, siklus hidrologi juga demikian tanpa pernah berhenti berputar dan memberikan supply air secara terus menerus, mikroorganisme mampu menguraikan sampah organik dan menetralisir zat-zat beracun.
Alam dan lingkungan memang mempunyai “sistem bawaan” yang mampu memproduksi sumber-sumber kehidupan. Hutan yang ditebang pun dapat tumbuh kembali asal masih ada sumber-sumber plasma nutfah yang tersisa, sawah pun dapat subur kembali kalau kita istirahatkan sebentar dan ditambahkan bahan organik dari tumbuhan maupun hewan, laut tetap produktif kalau masih ada induk ikan dan anakan ikan yang kita biarkan untuk tumbuh lagi. Area pertambangan pun mungkin bisa hijau kembali jikalau tidak kita eksploitasi secara membabi buta dan memperhatikan batas-batas kepulihan (resiliensi) lingkungan hidup.
Namun sayang kita sudah terlanjur berpikir dan bersikap secara berlebihan, destruktif dan seolah tanpa batas, jangan-jangan hingga melampaui batas kemampuan bumi untuk memulihkan dirinya dan menopang hidup kita. Hutan ditebang tanpa menyisakan induk-induk pohon dan menyisakan lahan gersang, hutan gambut rusak dan meninggalkan area yang rawan kebakaran, laut dikuras ikannya hingga terjadi kelangkaan ikan, hanya nelayan besar dengan kemampuan jelajah samudra yang mampu bertahan. Sawah-sawah hilang kesuburannya karena kita tidak merawatnya atapi memaksanya untuk terus berproduksi.
Berbagai fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi dan pola ekstraksi dan konsumsi manusia mengundang pertanyaan mendasar: apakah pemenuhan kebutuhan manusia hanya dapat (harus) ditempuh dengan cara-cara yang destruktif terhadap bumi? Apakah syarat kesejahteraan adalah kerusakan ekosistem? Apakah bumi memang sejatinya tidak dapat memenuhi kebutuhan kesejahteraan manusia? Setelah berbagai kerusakan alam terjadi, toh kita hanya dapat melihat kesejahteraan bagi sebagian manusia saja, sementara sebagian besar manusia masih berada pada kehidupan yang singkat kata kita butuh kelestarian sekaligus keadilan dalam satu paket jalan menuju kesejahteraan bersama. Untuk itu jangan sampai perbuatan kita melampaui batas kemampuan bumi untuk menghidupi dan menaungi kita, jangan sampai upaya meraih kesejahteraan kita lakukan dengan pelan-pelan merobohkan rumah kita bersama, bumi kita.
- Kapal pencari/penangkap ikan modern saat ini telah dilengkapi dengan unit pengolahan dan penyimpanan yang sangat besar. Saat ini, kapal pabrik terbesar di dunia adalah Annelies Ilena ex Atlantic Dawn. Kapal ini memiliki panjang 144 meter, mampu memproses 350 ton ikan per hari, membawa 3000 ton bahan bakar, dan menyimpan 7000 ton ikan yang telah diola dan/atau dibekukan
- Menurut data Jatam Kaltim, yang dibuat pada situs Mongobay.co.id, pada tahun 2019, di Kalimantan Timur terdapat 1.735 lubang bekas tambang dari 1.404 perusahaan yang dibiarkan begitu saja.
- Kebutuhan listrik Kota Jakarta dipenuhi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan sumber energi dari batubara. PLTU ini ada di wilayah Jawa Barat dan Banten dan menghasilkan polusi udara setiap hari yang berdampak pada kualitas udara di Kota Jakarta. Lembaga penelitian CREA (Center for Research on Energy and Clean Air) pada tahun 2020 memprediksi bahwa kerugian akibat pencemaran udara ini adalah 5,1 Triliun yang didasarkan pada potensi berkembangnya penyakit jantung, stroke, gangguan pernapasan, dan kanker paru-paru. (https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200812115652-199-534816/pltu-batu-bara-bikin-polusi-isap-rp51-triliun-per-tahun)
- https://fwi.or.id/menelisik-angka-deforestasi-pemerintah/
- Siaran Pers KLHK Nomor : SP. 162/HUMAS/PP/HMS.3/4/2020, Hutan Dan Deforestasi Indonesia Tahun 2019, 23 April 2020. Diterbitkan pada http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2435
- Dr. Saroyo Sumarto, M.Si, Biologi Konservasi, hal 3. Dalam pembahasan tentang kepunahan diuraikan bagaimana aktivitas manusia sejak tahun 1600 berpengaruh sangat besar terhadap laju kehilangan spesies, dan angkanya jauh melampaui kepunahan yang disebabkan oleh proses alami.
Lingkungan & Kebencanaan
Pendidikan Lingkungan dan Kebencanaan
Indonesia merupakan negara yang memiliki risiko terjadinya berbagai bencana, baik berupa bencana alam maupun penyebaran penyakit. Letak dan kondisi geografis Indonesia yang berada di “ring of fire’ dengan beberapa lempeng bumi yang terus bergerak mengakibatkan Indonesia berisiko tinggi mengalami bencana erupsi gunung berapi, gempa dan tsunami. Iklim dengan curah hujan yang tinggi dan topografi yang berbukit-bukit di sebagian besar wilayah menyebabkan negara kita juga berisiko tinggi mengalami banjir, tanah longsor dan penyebaran penyakit menular. Bencana-bencana tersebut diperparah dengan perilaku manusia tidak ramah lingkungan, seperti pembukaan lahan hutan yang tidak terkendali, pembakaran lahan, perilaku sehari-hari terkait pengelolaan sampah, perilaku hidup yang tidak sehat dan sebagainya.
Perilaku masyarakat yang dapat meningkatkan risiko dan dampak bencana harus diubah. Masyarakat harus lebih siap menghadapi bencana. Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana sangat penting untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui kegiatan mitigasi maupun adaptasi terhadap bencana. Mengubah perilaku masyarakat tidak mudah, dan harus dimulai sedini mungkin pada generasi muda melalui pendidikan baik formal maupun informal.
Melalui pendidikan lingkungan dan kebencanaan, Relung Indonesia ingin mengajak masyarakat, terutama generasi muda untuk meningkatkan kesadaran akan risiko, mengurangi dampak, dan beradaptasi terhadap bencana alam dan penyebaran penyakit menular. Kegiatan pendidikan melalui pelatihan dan pendampingan di sekolah-sekolah formal (terutama Sekolah Dasar) serta pendampingan kelompok pemuda menjadi strategi Relung Indonesia untuk membentuk perilaku masyarakat siaga bencana dan hidup harmoni dengan alam dan lingkungan.