Masyarakat dan Hutan
Hutan seringkali diasumsikan sebagai sebuah kawasan yang jauh dan lepas dari hubungannya dengan manusia/masyarakat, namun bukanlah demikian faktanya di lapangan. Hutan mempunyai berbagai bentuk relasi dengan masyarakat yang telah ratusan tahun tinggal di dalam atau di sekitarnya. Dalam perkembangannya relasi antara hutan dan masyarakat ini terus mengalami perkembangan, terutama saat dan paska terjadi eksploitasi besar-besaran yang dilakukan. Saat kebijakan pembangunan diarahkan untuk menjadikan hutan (alam) sebagai salah satu sumber devisa negara maka saat itulah terjadi mobilisasi manusia besar-besaran sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Di Sumatera dan Kalimantan, mobilisasi masyarakat terjadi untuk menopang kebutuhan tenaga kerja perusahaan-perusahaan yang menerima ijin eksploitasi sumberdaya hutan. Sejak saat itu muncullah pemukiman-pemukiman masyarakat yang berasal dari luar pulau (terutama Jawa, Bugis, Sunda dan Bali). Penduduk di sekitar hutan berkembang dengan pesat dan terus berkembang dan bahkan paska perusahan-perusahaan tersebut menghentikan operasi usahanya.
Paska bekerja di perusahaan kehutanan, masyarakat mencoba bertahan dengan berbagai sumber kehidupan: tetap melakukan penebangan kayu yang tersisa, berladang, menjadi buruh lepas di perusahaan tambang, perkebunan ataupun Hutan Tanaman yang menggantikan perusahaan-perusahaan yang memanen kayu alam. Jumlah masyarakat dan pemukiman di sekitar hutan semakin dan apapun yang dapat dilakukan untuk menopang kehidupan mereka. Masyarakat yang sudah puluhan tahun bekerja pada perusahaan-perusahaan kehutanan pada kelanjutannya tetap tinggal, membentuk pemukiman baru, bahkan mendatangkan sanak saudaranya dari tempat asal mereka. Terbentuklah pemukiman baru, dusun baru bahkan desa baru.
Pada kawasan hutan yang lain, terutama di kawasan hutan lindung dan juga kawasan konservasi. Kehadiran masyarakat di dalam kawasan terjadi akibat proses perambahan yang terjadi terus menerus. Berbagai instansi kehutanan yang ada tidak sanggup untuk mencegah terjadinya perambahan ini. Hutan Lindung dan kawasan konservasi pun banyak yang menjadi lading kopi, kebun karet dan sawit dan ini terus terjadi bertahun-tahun. Hubungan masyarakat dan hutan menjadi semakin kompleks. Pemukiman illegal, penduduk illegal, pekerjaan illegal menjadi warna kehidupan masyarakat desa-desa hutan sehari-hari. Kontradiksi kebijakan pembangunan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat pun terjadi dan menyebabkan terjadinya infrastruktur illegal, fasilitas public illegal karena dibangung di atas areal yang berupa kawasan hutan. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan menjadi serba sulit.
Hingga tahun 2019 KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat ada sekitar 25.863 desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang terdiri dari 9,2 juta rumah tangga. Sekitar 1,7 merupakan keluarga miskin [1]. Sejak paling tidak 10 tahun belakangan ini pemerintah mempunyai concern terhadap kondisi masyarakat desa-desa hutan ini. Beberapa kebijakan terus dikembangkan untuk memberikan landasan bagi peningkatan kesejahteraan mereka, sekaligus sebagai skema untuk melestarikan dan memulihkan suberdaya hutan yang terdegradasi.
Sumatera Selatan dan Desa-Desa Hutan
Sumatera Selatan mempunyai luas wilayah sekitar 91.592 km² atau sekitar 9,16 juta ha. Lebih dari sepertiga wilayahnya merupakan kawasan hutan seluas 3,5 juta ha. Terdapat 563 desa di Sumatera Selatan yang berada di dalam dan di sekitar hutan dengan ribuan kepala rumah tangga hidup dalam berbagai keterbatasan kehidupan sosial dan ekonomi. Ciri umum dari desa-desa hutan adalah minimnya akses dan jarak yang cukup jauh dari pusat-pusat ekonomi. Oleh karenanya desa-desa hutan identik dengan kantong-kantong kemiskinan.
Berbagai permasalahan sosial pun masih dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan ini. Hal yang paling mendasar seperti status kependudukan dan juga status pemukiman illegal masih menjadi persoalan yang belum juga tuntas, demikian juga dengan akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan. Banyak anak-anak usia sekolah yang harus meninggalkan rumah untuk menempuh pendidikan setingkat SLTP.
Seiring dengan kebijakan pemerintah untuk memberikan akses pengelolaan kawasan hutan terhadap masyarakat melalui kebijakan Perhutanan Sosial maka telah terbit sejumlah ijin perhutanan sosial sejak 5 tahun terakhir. Hingga tahun 2020 telah terbit 135 ijin perhutanan sosial di Sumatera Selatan. Perijinan ini melingkupi 103.692,80 hektare. Dari ijin yang telah diberikan tersebut tercatat 15.834 kepala keluarga (KK) yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan terlibat dalam program ini [2].
Bagi masyarakat yang hidup dan tinggal di dalam maupun sekitar kawasan hutan, lahan di kawasan hutan menjadi asset ekonomi terpenting yang menopang kehidupan mereka. Keluarnya ijin pemanfaatan kawasan hutan melalui kebijakan perhutanan sosial tentu merupakan modal yang sangat berarti bagi mereka. Kegiatan ekonomi masyarakat desa di kawasan hutan tidak lagi bersifat illegal di mata pemerintah. Pertanyaannya adalah apakah ijin pemanfaatan kawasan hutan ini sudah cukup untuk dapat mengungkit perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di desa-desa hutan tersebut? Jawabannya tentu tidak sederhana, karena selain akses legal terhadap lahan, masyarakat desa hutan masih mempunyai beberapa kendala, beberapa diantaranya adalah:
- Kemampuan teknis budidaya yang terbatas
- Kelembagaan kelompok tani yang belum berfungsi efektif
- Masih adanya konflik horizontal diantara masyarakat
- Keterbatasan modal kerja
- Keterbatasan akses pasar
Untuk mengatasi persoalan atau hambatan diatas diperlukan dukungan dari berbagai pihak. Instansi kehutanan baik pusat dan juga di daerah mustahil untuk dapat mengatasinya sendiri. Dibutuhkan kerja bersama-sama lintas sektor dan pada setiap tingkatan baik dari desa hingga pusat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa hutan.

Penguatan Masyarakat Desa Melalui Kebijakan Tata Kelola Desa
Pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan yang mendukung pengembangan desa. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa memberikan landasan yang kokoh bagi partisipasi pemerintah dan masyarakat desa dalam penyelenggaraan pembangunan. Diikuti oleh penyaluran Dana Desa setiap tahun menjadikan sistem pembangunan di desa menjadi lebih konkret. Desa-desa di Indonesia saat ini telah diberikan alokasi Dana Desa secara rutin setiap tahun. Pada tahun 2018 telah disalurkan dana sebanyak 60 triliun sedangan untuk tahun 2019 sebanyak 70 triliun. Untuk memperkuat perekonmian desa pemerintah juga mendorong terbentuknya Badan Usaha Desa (BUMDes). Lembaga ini berpotensi untuk menjadi faktor pengungkit bagi pengembangan ekonomi desa.
Kebijakan tentang tata kelola desa yang telah sedemikian berkembang tentunya dapat dijadikan momentum bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa-desa hutan. Oleh karena itu penting untuk mengembangkan keterpaduan antara Pembangunan Desa dan Tata Kelola Hutan, khususnya dalam mengimplementasikan kebijakan perhutanan sosial. Perubahan dan peningkatan kualitas pada Sistem Pembangunan Desa akan berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas kehidupan masyarakat terutama pada desa-desa di dalam dan sekitar kawasan hutan yang masih mengalami berbagai keterbatasan layanan publik dan juga ekonomi. Kebutuhan untuk bersinergi ini sudah disadari pada tingkat pemerintah pusat. Hal ini tercermin dari beberapa kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat seperti Peraturan Menteri Desa Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019. Kebijakan ini mendorong pemanfaatan Dana Desa untuk mendukung implementasi perhutanan sosial di desa-desa yang menjadi lokasi dari program ini. Selain itu juga terbit Surat Menteri Dalam Negeri, 13 Februari 2020, Nomor: 552/1592/Sj Tentang Dukungan Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial. Melalui surat ini menteri dalam negeri memberikan dorongan kepada pemerintah daerah di seluruh Indonesia untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan perhutanan sosial di wilayahnya masing-masing. Namun implementasi kedua “rumpun” kebijakan kebijakan ini masih belum optimal terutama terkait dengan pengembangan potensi ekonomi masyarakat desa hutan.
Mensinergikan Tata Kelola Desa dan Tata Kelola Hutan di Tingkat Tapak

Sebagai bentuk dukungan terhadap berbagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa seperti telah diuraikan diatas, Yayasan Penabulu tengah berupaya untuk membangun sinergi antar pihak di tingkat tapak. Hal ini dilakukan dengan membuat langkah-langkah konkret bersama-sama pemerintah desa dan pengelola kawasan hutan. Hingga saat ini antara pemerintah desa dan juga pengelola kawasan hutan (KPH) masih nampak berjalan sendiri-sendiri. Yayasan Penabulu tengah merintis kerjasama atau keterpaduan antara pemerintah desa dan pihak KPH dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan melalui pengembangan ekonomi berbasis potensi sumberdaya hutan yang ada di wilayah desa. rogram ini didasari oleh beberapa asumsi, yaitu:
- Kelompok perhutsos yg terbentuk membutuhkan dukungan berbagai pihak termasuk dalam hal ini adalah pemerintah desa
- Keterbatasan anggaran dari sektor kehutanan untuk menindaklanjuti ijin perhutanan sosial yang telah diterima masyarakat
- Kelompok Tani perhutanan sosial membutuhkan peran pihak lain dalam beberapa aspek seperti permodalan, paska panen dan pemasaran
- Badan Usaha Milik Desa dapat menopang beberapa hal yang dibutuhkan oleh Kelompok Tani perhutanan sosial tersebut
- KPH dan Pemerintah Desa dapat menjadi pihak yang mendorong dan mendukung terjadinya sinergi antara Kelompok Tani Perhutsos dan Badan Usaha Milik Desa.
Upaya pengembangan tata kelola ekonomi desa hutan yang diembangkan oleh Yayasan Penabulu dapat digambarkan sebagai berikut:

Tujuan utama dari program ini adalah terjadinya sinergi antara tata kelola hutan dan tata kelola desa dalam meningkatkan perekonomian masyarakat desa hutan. Selain sinergi di tingkat tapak antara pihak pemerintah desa, KPH, KTH Perhutsos dan juga BUMDes, program ini juga akan memperkuat koordinasi parapihak terkait di tingkat kabupaten. Selain itu penguatan jejaring pasar juga akan menjadi fokus dari program ini. Tanpa dukungan pasar yang memadai maka pengembangan ekonomi desa berbasis sumberdaya hutan tidak dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu program ini juga akan menjalin dan mengajak kerjasama para pelaku pasar dari komoditi atau produk-produk yang dihasilkan oleh desa hutan.
Program ini telah dijalankan Yayasan Penabulu di Kecamatan Mulak Ulu dan Kecamatan Kota Agung Kabupaten Lahat Sumatera Selatan. Komoditi utama di wilayah ini adalah kopi yang dihasilkan dari kawasan hutan. Melalui program ini Yayasan Penabulu memfasilitasi terjadinya kesepakatan antara pihak pemerintah desa, KPH Semendo, Kelompk Tani Perhutsos, dan juga BUMDes. Kesepakatan diantara parapihak dapat digambarkan dalam skema tabel di bawah ini:

Berdasarkan pembagian peran seperti diatas maka akan didapatkan beberapa manfaat, yaitu:
- Produk KTH berupa buah kopi segar (chery) berkualitas (petik merah) mendapatkan kepastian pembelian dari BUMDes, yang telah mendapatkan dukungan modal dari pemerintah desa
- Pengolahan kopi menjadi terpusat di BUMDes dan akan menghasilkan biji kopi kering dengan standar yang baik dan dalam volume yang memadai
- Kualitas yang memenuhi standar dan dalam volume yang memadai akan memudahkan dalam mendapatkan harga pasar yang diharapkan.
Skema diatas adalah skema pengembangan ekonomi desa hutan yang tengah dikembangkan di Kabupaten Lahat dengan komoditi utama berupa kopi hutan. Skema ini dapat diadopsi di lokasi lain dengan potensi sumberdaya hutan yang berbeda.

Referensi:
[1] https://mediaindonesia.com/humaniora/221945/klhk-identifikasi-ribuan-desa-di-kawasan-hutan
[2] https://sumatra.bisnis.com/read/20200213/534/1201056/135-izin-perhutanan-sosial-terbit-di-sumsel