Email Address
info@relung.or.id
Phone Number
+62 851-7544-2708
Our Location
Sleman, Yogyakarta 55573
info@relung.or.id
+62 851-7544-2708
Sleman, Yogyakarta 55573
admin
September 3, 2024
Financial literacy is the ability to understand and effectively use various financial skills, including personal financial management, budgeting, and investing. https://www.investopedia.com/
Pada suatu kesempatan RELUNG bersama teman-teman pendamping desa di Tlogopakis berkesempatan untuk ngobrol dan diskusi ringan dengan sekelompok ibu-ibu tentang kondisi perekonomian di desa dan juga di tingkat rumah tangga. Waktu itu memang saya dan teman-teman pendamping tidak memasang target apapun terhadap diskusi tersebut yang penting “dongengan” saja tentang isu seputar peran ibu-ibu secara sosial maupun ekonomi.
Kami pun melempar pertanyaan ke ibu-ibu waktu itu,”Sebenarnya kita itu selama ini mengeluarkan uang atau belanja itu dasarnya kebutuhan atau keinginan ya?”,
dengan tidak serempak dan lirih ibu-ibu pun menjawab,
“sepertinya keinginan Paak…”,
“Lha ada promo terus je Pak, sayang kalau nggak dibeli”
“Maksudnya apa kok ada promo terus?” tanyaku
“Wah kuper njenengan Pak, itu lho yang di HP”
“Oalaah…. Jiaan”
Ternyata meskipun hidup di atas gunung, ibu-ibu ini sangat akrab dengan belanja online.
“ Terus bagaimana kalau ternyata belanja kita itu dasarnya adalah keinginan bukan kebutuhan?”
“ Ya ngglempang Pak, besar pasak daripada tiang”,
“Oke deeh… paham saya, lha terus supaya tiangnya nggak roboh bagaimana?”,
Dengan serempak mereka menjawab,”utaaanngggg……”
“Welah jiaan, muantap tenan jawabnya,” responku
“Santuy Pak masih ada MEKAR”
“Lha makhluk apa lagi ini?”
“Itu lho yang sering nawari kita utang, wong belum lunas aja udah ditawari lagi kok”, jelas ibu-ibu agak kenes.
Ini adalah percakapan awal yang sungguh sangat menarik dan memancing kita untuk mengajukan pertanyaan selanjutnya.
“ kalau diperkirakan apa yang sebenarnya membuat pengeluaran kita itu melebihi pendapatan?”
“Jajan anak Pak!”
“Kok bisa?”, sahutku
“wee akeh tenan (banyak sekali) lho kuwi Pak, pas di sekolah dan juga setelah sekolah”
“ Sing nganter sekolah alias ibune yo ikut jajan Paaakk” ada yang nyeletuk.
“lha berapa to jajan anak itu sehari?” tanyaku
“minimal 20.000 Pak per anak”
“ kalau 2 anak?”
“ya patang puluh Pak, itu minimal, belum lagi kalau ada acara di kampung, bisa lebih itu”
“wah pantes aja pas pertemuan dengan bapak-bapak banyak yang ngeluh pusing dan sakit pinggang ya…”
“iyesss…”, jawab mereka.
Ada banyak hal yang dapat dicatat dari percakapan dan ngobrol dengan ibu-ibu waktu itu. Percakapannya pun tidak saja berhenti sampai disana namun juga dilanjutkan dengan ngobrol tentang beberapa konsepsi dasar yang terkait dengan ekonomi maupun kehidupan sosial.
Lantas apa sebenarnya kebutuhan dan keinginan? Dalam diskusi tersebut diuraikan bahwa perbedaan pemenuhan kebutuhan adalah terkait dengan risiko yang harus ditanggung atau dihadapi. Artinya sesuatu dapat dianggap sebagai kebutuhan adalah jika tidak terpenuhi maka akan menyebabkan munculnya risiko yang cukup berarti, sebagai contoh adalah makan 3 kali sehari adalah kebutuhan karena kalau tidak terpenuhi maka akan menyebabkan badan kurang sehat. Contoh kebutuhan yang lain adalah biaya sekolah, karena kalau tidak dipenuhi akan ada risiko anak tidak tamat sekolah. Sedangkan keinginan sebenarnya terkait dengan tingkat kepuasan semata dan jika tidak terpenuhi hanya akan mengurangi dari rasa puas itu sendiri.
Selanjutnya diskusi dilanjutkan dengan membahas istilah “Manfaat” dan “Keuntungan” apa kesamaan dan perbedaaanya? Dalam hal ini dapat dipahami bahwa “Manfaat” adalah sesuatu yang didapatkan jika seseorang atau pihak tertentu mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya atau terpenuhinya akan sesuatu yang dibutuhkan. Misalnya jika seseorang lapar terus dia menanak nasi, bikin sayur dan lauk terus makan sepiring nasi ditambah sayur dan lauk maka dia mendapatkan sebuah manfaat, yaitu terbebas dari rasa lapar, atau terbebas dari resiko sakit.
Lain lagi dengan keuntungan konsepsi manfaat. Sama-sama orang tersebut masak nasi, memasak sayur dan lauk kemudian dia membungkusnya dan menjualnya di warung angkringan dan terjual semua, maka dia akan mendapat yang disebut sebagai keuntungan. Dengan catatan bahwa hasil penjualan lebih banyak dari pada biaya untuk menproduksi nasi bungkus tersebut. Maka selisih antara hasil penjualan dan biaya produksi tersebut merupakan keuntungan yang diperoleh.
Percakapan pun berlanjut.
“Ibu-ibu bagaimana kalau kita kehilangan uang 2 ribu rupiah dalam sehari?”
“nggak kerasa Pak”, Jawab ibu-ibu dengan tegas (dan agak sombong)
“ Tapi bagaimana kalau kita kehilangan uang 60 ribu dalam sebulan?”
“Wah jangan Paak…”
“lha nggak konsisten ini, katanya uang 2 ribu sehari sedikiit… tapi kalau 60ribu sebulan kok jadi banyak ya?”
“ hehehe….iya ya”
“Kalau pertanyaannya dibalik sekarang, Kalau kita menyisihkan 2 ribu sehari untuk kita tabung itu berat nggaak?”
“ya ringan Pak”
“Kalau 60rb kita tabung per bulan?”
“eehmmmm gimana ya?”
“Kalau kita bareng-bareng 30 orang menabung 60rb sebulan artinya akan ada dana tabungan 1,8 juta perbulan atau sekitar 20 jutaan dalam setahun”
“nah menarik itu Pak, bisa dipikirkan itu”
Satu hal yang dapat dirasakan pada momen diskusi tersebut adalah bahwa perbincangan dan diskusi tentang ekonomi ternyata tidak selalu melulu terkait dengan bagaimana meningkatkan pendapatan (atau dalam perspektif makro bisa jadi disebut pertumbuhan). Bincang-bincang ekonomi sore itu dapat memberikan dan membuka gambaran bahwa praktik berekonomi masyarakat saat ini tidak didasarkan pada pemahaman dan kesadaran tentang apa ekonomi itu sendiri dan juga jauh dari perspektif kesejahteraan yang multidimensional. Ekonomi hanya dimaknai sebagai proses/kegiatan untuk menghasilkan pendapatan setinggi-tingginya dan membelanjakan atas dasar keinginan, bukan kebutuhan. Ibarat bermain sepak bola fokusnya hanya pada menyerang (ofensif) semata. Lantas bagaimana dengan pertahanan (menabung misalnya), atau investasi (menyiapkan pemain baru) sebagai strategi jangka panjang.
Kita juga dapat memahami bahwa ibarat sebuah tim sepak bola yang sedang menyerang itu berarti juga meningkatkan kerawanan terhadap kemampuan bertahan. Demikian juga sepertinya pada strategi pengembangan ekonomi, jika hanya fokus pada produksi ataupun peningkatan pendapatan saja, maka akan tercipta kerawanan-kerawanan tertentu dalam konteks kesejahteraan secara lebih luas, baik secara individu maupun sosial.
Disinilah sebenarnya konteks literasi finansial dibutuhkan sebagai perangkat tata kelola ekonomi berbasis keluarga maupun komunitas. Finansial literasi bukan sekedar sebagai sebuah teknik manajemen ataupun akuntansi keuangan. Finansial literasi juga jangan sampai dimaknai sekedar acces to finance (baca:panduan mengakses perbankan). Finansial Literasi seharusnya mampu membedah dan memperluas khasanah berpikir masyarakat tentang tata kelola ekonomi rumah tangga dan komunitas yang didasarkan atas kesadaran dan pemahaman tentang arti dan makna kesejahteraan itu sendiri baik di tingkat individu, keluarga dan komunitas.
Kontributor:
Akhmad Arief Fahmi
“Worry often gives a small thing a big shadow.”
-Swedish proverb
Jaga lingkungan bersama Relung Indonesia Foundation! Dapatkan informasi terkini seputar kehutanan dan lingkungan di Indonesia.
Relung Indonesia Foundation
Copyright © 2023. All rights reserved.