
Email Address
info@relung.or.id
Phone Number
+62 851-7544-2708
Our Location
Sleman, Yogyakarta 55573
info@relung.or.id
+62 851-7544-2708
Sleman, Yogyakarta 55573
admin
Maret 4, 2025
Merajut Harapan di Puncak-Puncak Bukit: Kehidupan Petani Hutan di Pegunungan Menoreh, yang disunting oleh Akhmad Arief Fahmi, adalah kumpulan tulisan dari berbagai kontributor yang berupaya memotret keadaan komunitas hutan-desa di Pegunungan Menoreh di periode akhir 1990-an dan awal 2000-an. Buku ini diterbitkan pada 2003 melalui kerja sama antara Yayasan Relung Indonesia dan DEBUT Press Jogjakarta.
Buku ini diawali dengan kata pengantar oleh San Afri Awang, alumni dan kini dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang mendefinisikan lebih lanjut istilah ‘hutan rakyat’ dan potensinya untuk melepas komunitas hutan dari belenggu potret ketidakberdayaan (hal. vi).
Awang berharap berbagai tulisan dalam buku ini “tidak sekadar menjadi sebuah laporan penelitian, tetapi juga “khasanah berpikir yang cukup mendalam tentang sebuah ekosistem hutan rakyat dengan memandang manusia (petani hutan rakyat) sebagai elemen kunci” (hal. xi). Pernyataan ini tidak hanya menjadi harapan, tetapi juga peringatan bagi pembaca agar melihat laporan-laporan ini secara lebih reflektif dan terbuka terhadap berbagai interpretasi.
Buku terbagi atas tiga bagian yang mengupas berbagai aspek Pegunungan Menoreh, mulai dari kebijakan kehutanan, potret deskriptif komunitas dan perubahan lanskap, hingga refleksi atas fenomena sosial dan ekologis.
Bagian pertama berisi dua tulisan dari Anang Sabtoni dan Setiawan Subenuh yang membahas kebijakan kehutanan.
Sabtoni melihat kebijakan kehutanan yang bermula sejak penggantian kebijakan tanam paksa dengan Undang-Undang Agraria tahun 1870. Namun, menurutnya, 130 tahun setelahnya,“prinsip pengelolaan hutan oleh Belanda yang kaku […] ternyata diadopsi habis […] menjadi warisan tradisi hingga saat ini” (hal. 7).
Warisan kekhawatiran ini juga digarisbawahi oleh Subenuh dengan penelusuran atas perkembangan kebijakan dari tahun 1950 hingga 1999, menyoroti tumpang-tindih regulasi serta dampak ketidakpastian kebijakan, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah.
Bagian kedua membawa pembaca ke kehidupan komunitas desa-hutan di lima desa sekitar Pegunungan Menoreh. Desa Donorejo dan Gunung Wangi ditulis oleh K. Fajar Wianti, Gerbosari didokumentasikan oleh Setiawan Subenuh dan Yustina Artati, sementara Kalirejo dan Ngargoretno dibahas oleh Astarina Eka Dewi.
Tulisan dalam bagian ini berfokus pada aspek livelihood, mengaitkan hubungan komunitas dengan lanskap hutan dan skema hutan rakyat. Perspektif yang diangkat beragam–hasil kurasi pengalaman penulis. Mulai dari sistem peternakan (hal. 57), kesenjangan ekonomi dari aksesibilitas yang tidak merata (hal. 62), dinamika ekonomi lokal (hal. 102-107), dan peran lembaga lokal (hal. 117-120, 132-135).
Catatan deskriptif di bagian ini membantu membayangkan kondisi desa sekitar Pegunungan Menoreh dua dekade silam. Namun, tulisan ini cenderung bersifat observasional tanpa eksplorasi dan pengamatan lebih dalam terhadap realitas sosial yang hadir.
Para penulis terasa berperan layaknya reporter yang mengamati dari kejauhan, tetapi tidak sepenuhnya terlibat dalam narasi kehidupan komunitas yang mereka tulis. Hal ini membuat pembaca merasa dapat melihat lebih banyak, tetapi tidak mendapat pemahaman yang lebih dalam.
Jika bagian kedua dipenuhi catatan deskriptif yang timpang, bagian ketiga membawa pendekatan yang lebih reflektif.
Empat penulis yang sebelumnya menggambarkan komunitas secara deskriptif, kini kembali dengan sudut pandang yang lebih personal, mengeksplorasi isu spesifik seperti keberlanjutan sumber daya air, pertemuan dan lokakarya sebagai momentum perubahan, koeksistensi kera panjang dengan petani, serta migrasi anak muda dari desa.
Meskipun terasa lebih dalam dan dekat, tulisan di bagian ini masih mengandung asumsi yang cenderung timpang dalam memandang komunitas desa-hutan. Dalam beberapa bagian (hal. 149, 154, 156, 166), komunitas lokal digambarkan sebagai kelompok desa harmonis, murni, dan pasif yang bergantung pada bantuan eksternal, tanpa cukup menyoroti strategi adaptasi yang telah mereka kembangkan. Sayangnya, asumi ini tidak selalu diimbangi dengan analisis reflektif yang lebih kritis, sehingga berisiko memperkuat narasi klise developmentalism: bahwa dampak modernisasi hanya dapat diatasi melalui intervensi pihak luar.
Kata Pengantar telah menegaskan petani hutan sebagai “ekosistem kunci” dalam ekosistem hutan rakyat. Mereka bukan hanya objek dalam perubahan sosial, tetapi juga aktor yang berupaya adaptif atas berbagai tantangan. Dengan begitu, bagian ini sebenarnya punya potensi menggali cara komunitas tersebut bersiasat sebagai respons atas pembangunan–bukan sekedar jadi penerima dampak.
Beruntungnya, bab Penutup dalam buku ini berperan sebagai netralisir atas timpangan asumsi dan reflektif melalui suatu kalimat,
“Apa yang kemudian diperoleh dan dihasilkan oleh Petani di Pegunungan Menoreh adalah hasil jerih payah mereka dalam menghadapi tantangan-tantangan lingkungan.” (hal. 210)
Pernyataan ini mengembalikan fokus pada esensi buku: bahwa setimpang-timpangnya kacamata peneliti, potret komunitas hutan adalah kisah perjuangan mereka sendiri. Tak hanya perjuangan atas tantangan lingkungan, mereka juga perlu adaptif dengan dinamika zaman dan tekanan politik-ekonomi yang terus berubah.
Sebagai dokumentasi dari era awal Reformasi, buku ini juga mencerminkan semangat perubahan yang masih relatif abstrak; belum berbentuk jelas. Ia menjadi semacam surat harapan bagi komunitas hutan rakyat dalam menghadapi transisi politik yang penuh ketidakpastian.
Namun, dalam pencerminan itu pula, narasi deskriptif permukaan dan asumsi-asumsi timpang terhadap komunitas desa-hutan ikut terbawa. Buku ini tak hanya dokumentasi kehidupan komunitas dan lanskapnya, tetapi juga menampilkan cara pemahaman peneliti dan pengamat kala itu. Lantas, ia tak sakadar menjadi rekaman realitas, tetapi potret cara pandang dan kerja peneliti yang masih terus berkembang.
Berbagai kritik dan kekhawatiran berbalut harapan menjadi bagian dari nafas perjuangan panjang yang berlangsung hingga kini–sebuah perjalanan panjang tanpa ujung yang tak hanya dihadapi komunitas hutan rakyat, tetapi juga kita semua yang merasa kesulitan menerjemahkan perubahan zaman.
Akhmad Arief Fahmi (peny.), Merajut Harapan di Puncak-Puncak Bukit: Kehidupan Petani Hutan di Pegunungan Menoreh, Yayasan Relung Indonesia dan DEBUT Press, 2003.
Kontributor:
Michael Don Lopulalan
“Dynamic Harmony between Human and Nature.”
-Relung Indonesia
Jaga lingkungan bersama Relung Indonesia Foundation! Dapatkan informasi terkini seputar kehutanan dan lingkungan di Indonesia.
Relung Indonesia Foundation
Copyright © 2023. All rights reserved.