Email Address

info@relung.or.id

Phone Number

+62 851-7544-2708

Our Location

Sleman, Yogyakarta 55573

Diskusi Omah Relung “Monyet Ekor Panjang (MEP) : Upaya Perlindungan dan Pengelolaan Konflik”

Pojok Pengetahuan

Relung Indonesia Gelar Diskusi Perlindungan dan Pengelolaan Konflik Monyet Ekor Panjang

Pada 28 Oktober 2024, Yayasan Relung Indonesia mengadakan diskusi di Omah Relung, Sleman, DI Yogyakarta mengenai isu yang kian mendesak yaitu konflik antara manusia dengan monyet ekor panjang (MEP). Kegiatan ini bertemakan “Monyet Ekor Panjang (MEP): Upaya Perlindungan dan Pengelolaan Konflik” yang dihadiri berbagai Institusi dan pemerhati lingkungan, mulai dari UGM, BKSDA DIY, WALHI Yogyakarta, DLHK DIY, BTNGM, RCI, DUPP Bantul, COP, JAWI, AFJ, YEU, MAPALASKA, JSI, Kanopi, Swara Owa, dan UNS dengan satu tujuan utama untuk mencari solusi agar manusia dan monyet ekor panjang dapat hidup berdampingan tanpa mengorbankan satu sama yang lain.

 

Mengeapa konflik antara manusia dengan monyet ekopr panjang semakin menjadi masalah yang kompleks dan mendalam? Bagaimana dampaknya pada lingkungan, perekonomian dan kehidupan sehari hari Masyarakat? Dalam forum yang dinamis ini, para peserta berdiskusi dari berbagai sudut pandang, pengalaman, hingga ide-ide baru yang inovatif.

Menguak Akar Masalah: Ekspansi Manusia dan Tekanan Habitat

Masalah monyet ekor panjang sejatinya bukan sekedar “gangguan hewan liar” yang mengusik kenyamanan manusia. Mas Nur Kholis dari WALHI Yogyakarta mengingatkan, konflik ini muncul akibat tekanan besar pada habitat alami MEP yang kini semakin tergerus. Menurutnya, perubahan besar-besaran dalam lanskap alam, baik karena kebaran hutan, Pembangunan jalur jalan lintas selatan (JJLS), maupun alih fungsi lahan untuk pariwisata, telah mengusir monyet dari habitat mereka yang dahulu asri. Akibatnya, monyet-monyet ini kini berpindah ke area pertanian dan pemukiman warga untuk mencari makan dan tempat berlindung.

 

“Isu ini bukan hanya antropogenik, tetapi juga kapitalogenik” ucap Mas Kholis. Dengan kata lain, konflik yang terjadi adalah buah dari sistem ekonomi yang mengutamakan keuntungan industri, sering kali tanpa mempertimbangkan dampak pada ekosistem dari keseimbangan alam.

Dampak Serangan Monyet Ekor Panjang (MEP) Terhadap Kehidupan Masyarakat

Apa sebenarnya dampak dari populasi monyet ekor panjang yang semakin mendekati wilayah permukiman? Pak Lim, seorang pemerhati lingkungan menggambarkan dengan jelas bagaimana monyet ekor panjang telah menjadi momok bagi petani. Di beberapa daerah seperti Dlingo dan Kulon Progo, hasil panen padi, ketela dan tanaman hortikultura lainnya mengalami kerusakan yang signifikan akibat serangan MEP. Bahkan, ada lahan pertanian yang kini dibiarkan terbengkalai begitu saja karena petani merasa tidak lagi mampu menahan serangan MEP yang semakin intens.

 

Data yang dihimpun di wilayah Mangunan juga menunjukan bahwa dalam kurun waktu januari hingga April 2024 saja, kerugian akibat kerusakan tanaman oleh MEP mencapai Rp 326.000.000 (tiga ratus dua puluh enam juta rupiah). Tidak hanya kerugian materi, Masyarakat juga mengalami tekanan mental akibat konflik yang tak kunjung usai ini.

 

“Kita disini ingin menemukan solusi yang adil, bukan hanya untuk memusuhi MEP, tetapi juga untuk melindungi hak petani dan lingkungan” jelas Pak Arief, moderator diskusi dari Relung Indonesia.

Solusi dan Pendekatan Inovatif yang Diuji di Lapangan

Dalam upaya mencari jalan tengah, diskusi ini mengemukakan beberapa pendekatan inovatif salah satunya adalah penanaman tanaman yang relatif lebih aman dari gangguan MEP, seperti melinjo dan mete. Kedua tanaman ini dianggap lebih sesuai untuk kondisi lahan di DIY yang relative kering dan kurang rentan terhadap serangan MEP, karena bagian tanaman yang di makan monyet hanya kulit nya saja, sementara bijinya masih dapat dimanfaatkan oleh para petani.

 

Sterilisasi juga menjadi salah satu opsi yang telah diuji untuk mengendalikan populasi MEP. Namun program ini menghadapi tantangan tersendiri karena upaya sterilisasi yang dilakukan sebelumnnya menunjukan hasil yang kurang efektif dan memerlukan pendekatan lebih lanjut. Tindakan-tindakan lain seperti pembuatan zona peyangga, bahkan upaya spiritual dengan bantuan tokoh Masyarakat diakui sebagai cara-cara yang telah dicoba tetapi masih terbattas dalam efektivitasnnya.

 

Pak Ifan dari POPT Dlingo dan Jetis menambahkan bahwa komunitas setempat telah melakukan berbagai cara untuk menghalau MEP, mulai dari penggunaaan mercon, jarring, hingga cara-cara tradisional seperti pemasangan speaker dengan suara anjing. Meski begitu, kecerdasan dan adaptabilitas MEP membuat cara-cara ini hanya efektif sementara waktu. Masyarakat dan pakar lingkungan yang hadir sepakat bahwa diperlukan pendekatan holistik dan kolaboratif antara Masyarakat, pemerintah dan industri pariwisata untuk mencapai solusi jangka panjang.

Peran Pemerintah dan Pentingnya Kolaborasi Lintas Sektor

Diskusi ini juga memperlihatkan pentingnya peran pemerintah daerah dalam menyelesaikan konflik ini. Bu Ferry dari DLHK DIY menyempaikan bahwa data akurat mengenai populasi dan pergerakan MEP sangat dibutuhkan agar penanganan dapat direncanakan dengan lebih efektif. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu menyesuaikan kebijakan alih fungsi lahan agar tidak mengusik habitat MEP yang tersisa.

 

Pak Awang dari BKSDA DIY juga menekankan bahwa penanganan konflik ini memerlukan pendekatan ekosistem yang menyeluruh, termasuk dukungan data yang lengkap dan kolaborasi lintas sektor, mulai dari pemerintahan, Lembaga konservasi hingga sektor pariwisata.

Peran Pemerintah dan Pentingnya Kolaborasi Lintas Sektor

Sebagai tindak lanjut, Relung Indonesia, Lembaga terkait dan para peserta berkomitmen untuk menlanjutkan forum diskusi ini agar dapat merumuskan solusi yang lebih konkret. Diskusi berikutnya akan diselenggarakan bersama WALHI Yogyakarta sekitar satu bulan dari pertemuan ini. Selain itu, grup komunitas melalui WhatsApp juga akan dibentuk untuk memfasilitasi pertukaran informasi secara real-time antar peserta dan memperkuat sinergi dalam menghadapi konflik ini.

 

Dengan semakin kompleksnya permasalahan monyet ekor panjang, upaya-upaya yang dilakukan oleh Relung Indonesia dan Lembaga lainnya menunjukan bahwa kolaborasi yang berkelanjutan sangat diperlukan. Masyarakat yang terdampak, pelaku industry, dan pemerintah diharapkan dapat bersinergi agar kehidupan harmonis antara manusia dengan monyet ekor panjang bisa terwujud Kembali, seperti halnya dahulu ketika alam masih lebih seimbang.

 

Kontributor:

Shella

“Worry often gives a small thing a big shadow.”

-Swedish proverb

Tags :
Pojok Pengetahuan
Share This :

Contact Info

Newsletter

Jaga lingkungan bersama Relung Indonesia Foundation! Dapatkan informasi terkini seputar kehutanan dan lingkungan di Indonesia.

Relung Indonesia Foundation

Copyright © 2023. All rights reserved.