
Email Address
info@relung.or.id
Phone Number
+62 851-7544-2708
Our Location
Sleman, Yogyakarta 55573
info@relung.or.id
+62 851-7544-2708
Sleman, Yogyakarta 55573
admin
Mei 1, 2025
Sebagai lembaga yang fokus pada isu lingkungan hidup dan keadilan ekologis, Relung Indonesia memandang penting untuk terus mendorong ruang diskusi kritis mengenai komoditas yang berpengaruh besar terhadap lanskap sosial dan ekologis Indonesia—salah satunya adalah kelapa sawit. Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan sektor tertentu, tetapi untuk menelaah secara jujur dinamika yang terjadi di lapangan, serta mendorong praktik pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi manusia dan alam.
Kelapa sawit telah menjadi salah satu komoditas strategis di Indonesia, tidak hanya karena kontribusinya terhadap perekonomian nasional tetapi juga karena dampaknya yang signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat. Di tengah krisis iklim global dan tantangan ekonomi, kelapa sawit kerap dianggap sebagai solusi praktis. Namun, apakah benar tanaman ini merupakan oase yang menenangkan atau justru badai yang tersembunyi?
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) berasal dari Afrika Barat dan pertama kali diperkenalkan ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19, tepatnya sekitar tahun 1848 di Kebun Raya Bogor. Pada awalnya hanya sebagai tanaman koleksi, kelapa sawit mulai dibudidayakan secara komersial pada awal abad ke-20, khususnya di Sumatra dan Kalimantan.
Saat ini, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan luas lahan mencapai lebih dari 16,38 juta hektar (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2022). Dari jumlah tersebut, sekitar 3,3 juta hektar diduga merupakan perkebunan ilegal yang berada di kawasan hutan (KPK, 2020). Produktivitas kebun kelapa sawit di Indonesia rata-rata berkisar antara 3-4 ton minyak per hektar per tahun, namun masih terdapat gap dibandingkan potensi optimal yang dapat mencapai 6-8 ton per hektar per tahun dengan praktik agronomi terbaik. Hal ini menandakan bahwa negara kita masih sangat bergantung dengan luasan lahan daripada optimalisasi hasil produksinya.
Memang, perkebunan kelapa sawit telah membuka lapangan pekerjaan bagi jutaan masyarakat, khususnya di pedesaan. Banyak penduduk dari Pulau Jawa tertarik untuk transmigrasi ke wilayah Sumatra dan Kalimantan guna bekerja di sektor ini. Perputaran ekonomi lokal meningkat seiring dengan tumbuhnya kegiatan usaha penunjang seperti transportasi, perdagangan, dan jasa. Dengan demikian, kelapa sawit menjadi tumpuan bagi banyak keluarga untuk bertahan hidup di tengah krisis ekonomi.
Namun, ekspansi masif kebun sawit menyebabkan perubahan drastis dalam pola pertanian. Lahan yang sebelumnya digunakan untuk produksi pangan seperti padi, jagung, dan umbi-umbian kini diubah menjadi monokultur sawit. Hal ini berisiko mengancam ketahanan pangan lokal dan mengikis keberagaman komoditas pertanian.
Alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Pembukaan lahan dengan cara pembakaran menyebabkan emisi karbon yang tinggi dan berkontribusi terhadap perubahan iklim. Menurut laporan Forest Watch Indonesia (2023), sekitar 1,3 juta hektar hutan tropis hilang setiap tahunnya di Indonesia, sebagian besar akibat konversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Hilangnya hutan alam mengakibatkan degradasi habitat dan kepunahan spesies endemik seperti orangutan dan harimau Sumatra.
Selain itu, konflik sosial kerap terjadi akibat tumpang tindih lahan, ketimpangan penguasaan tanah, serta ketidakadilan dalam distribusi keuntungan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa pada tahun 2022, sektor perkebunan menjadi penyumbang terbesar konflik agraria dengan 212 kasus yang mencakup luas konflik mencapai lebih dari 500 ribu hektar, banyak di antaranya melibatkan perusahaan sawit dan masyarakat adat.
Pemerintah telah merespons melalui berbagai kebijakan, seperti program biodiesel berbasis kelapa sawit untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Program ini menjadi bagian dari strategi swasembada energi nasional. Meski demikian, kebijakan ini juga mendorong perluasan lahan sawit yang sering kali mengorbankan kawasan hutan dan lahan adat. Ambisi besar pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak sawit mentah (CPO) acap kali bertentangan dengan komitmen terhadap pelestarian lingkungan.
Jika pola pengelolaan kelapa sawit tidak segera diubah, Indonesia menghadapi risiko jangka panjang yang serius. Ketergantungan pada monokultur akan memperlemah daya lenting sistem pertanian, memperparah deforestasi, dan mempercepat laju kehilangan keanekaragaman hayati. Untuk itu, diperlukan reformasi kebijakan yang mendorong agroforestri, penerapan praktik sawit berkelanjutan (RSPO), serta perlindungan terhadap kawasan lindung dan masyarakat adat.
Kelapa sawit memang bisa menjadi penyelamat ekonomi bagi sebagian kalangan, namun perlu pengelolaan yang bijak agar tidak menjadi sumber bencana lingkungan. Di tengah guncangan krisis iklim, kita perlu memastikan bahwa oase yang ditawarkan oleh kelapa sawit bukanlah fatamorgana yang menyisakan kerusakan permanen.
Di tengah guncangan krisis iklim dan ketimpangan sosial-ekologis yang kian nyata, kita perlu meninjau ulang paradigma pembangunan berbasis ekstraksi dan ekspansi lahan. Palm oil, seperti banyak komoditas lainnya, bukanlah musuh, tetapi cara pengelolaannyalah yang menentukan apakah ia menjadi berkah atau bencana. Relung Indonesia percaya bahwa masa depan yang lestari hanya bisa dicapai melalui kolaborasi multipihak, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, dan keberanian untuk mengubah arah kebijakan menuju keadilan ekologis yang sejati.
Kontributor:
Ahmad Rifa’i
“Dynamic Harmony between Human and Nature.”
-Relung Indonesia
Jaga lingkungan bersama Relung Indonesia Foundation! Dapatkan informasi terkini seputar kehutanan dan lingkungan di Indonesia.
Relung Indonesia Foundation
Copyright © 2023. All rights reserved.