Email Address
info@relung.or.id
Phone Number
+62 851-7544-2708
Our Location
Sleman, Yogyakarta 55573
info@relung.or.id
+62 851-7544-2708
Sleman, Yogyakarta 55573
admin
Mei 27, 2024
Pandemi COVID-19 telah menginfeksi lebih dari 770 juta orang dan mengakibatkan lebih dari 6,9 juta kematian dilaporkan secara global. Pandemi ini juga telah berkontribusi pada penurunan harapan hidup global; di Amerika Serikat saja, harapan hidup turun sekitar 1,8 tahun, dengan penurunan yang lebih besar di antara kelompok minoritas. Selain itu, pandemi ini juga telah menimbulkan efek kesehatan tidak langsung. Kesehatan mental menurun di seluruh dunia, dengan peningkatan prevalensi kecemasan dan depresi sebesar 25% pada tahun pertama pandemi.
Sementara itu, perubahan iklim global telah mempengaruhi lebih dari 7,8 miliar orang dan mengakibatkan lebih dari 1,2 juta kematian akibat bencana alam yang dilaporkan secara global. Selain itu, perubahan iklim ini juga telah menimbulkan efek kesehatan tidak langsung. Di Bangladesh, negara dengan tingkat polusi tertinggi pada 2021, usia hidup warganya dapat berkurang hingga 6,8 tahun akibat pencemaran polusi udara PM2.5 yang jauh melebihi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sementara, warga Amerika Serikat rata-rata hanya akan kehilangan 3,6 bulan dari usia hidup mereka akibat polusi udara.
Dalam dunia pasca-COVID-19, risiko terjadinya pandemi lain dalam beberapa dekade ke depan tetap ada dan berpotensi meningkat. Bukti menunjukkan bahwa kemungkinan pandemi telah meningkat selama lebih dari satu abad terakhir karena peningkatan perjalanan dan integrasi global, urbanisasi, perubahan penggunaan lahan, dan eksploitasi yang lebih besar terhadap lingkungan alam. Wabah skala kecil atau pandemi skala besar terkait penyakit menular baru telah meningkat selama satu abad terakhir, dan diperkirakan akan terus meningkat seiring berjalannya waktu. Bukti menunjukkan kemungkinan terjadinya pandemi lain dalam hidup seseorang adalah sekitar 17% dan bahkan mungkin meningkat hingga 44% dalam beberapa dekade mendatang. Artinya, pada tahun tertentu, peluang terjadinya pandemi lain adalah lebih dari 2%. Dengan laju peningkatan suhu bumi secara global yang konstan bahkan cenderung meningkat, terdapat resiko besar bahwa dampak pandemi yang dibarengi dengan krisis iklim akan memunculkan bencana katastropik yang dampaknya semakin tidak bisa kita kontrol lagi.
Dua krisis besar ini, pandemi global dan perubahan iklim, saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain dalam berbagai cara. Pemahaman yang baik bagaimana kedua krisis besar ini saling berinteraksi akan membantu kita dalam menyusun rencana mitigasi dan adaptasi yang memadai. Bagaimanakah perubahan iklim dapat mempengaruhi resiko pandemi global?
Perubahan iklim memiliki dampak signifikan terhadap penyebaran penyakit yang ditularkan oleh vektor, seperti malaria dan demam berdarah. Suhu yang lebih tinggi dan curah hujan yang tidak teratur dapat menciptakan kondisi yang ideal untuk perkembangan dan penyebaran vektor penyakit ini1. Misalnya, peningkatan suhu telah terbukti mempercepat proses perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa, yang pada gilirannya meningkatkan risiko penularan penyakit seperti malaria.
Perubahan iklim juga dapat mempengaruhi penyebaran penyakit zoonotik, yaitu penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia. Misalnya, perubahan dalam pola hujan dan suhu dapat mempengaruhi habitat dan perilaku hewan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi risiko penularan penyakit zoonotik. Menurut sebuah studi, 58% penyakit menular manusia dapat diperburuk oleh perubahan iklim, dan jumlah terbesar penyakit yang diperparah oleh perubahan iklim melibatkan penularan melalui vektor, seperti yang disebarkan oleh nyamuk, kelelawar atau hewan pengerat.
Perubahan iklim dapat mempengaruhi ketersediaan dan kualitas air, yang dapat mempengaruhi penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air, seperti kolera. Peningkatan suhu bumi akan mengakibatkan cadangan air di atmosfer meningkat sehingga mengurangi ketersediaan air di dalam tanah, khususnya pada saat musim kemarau. Fenomena perubahan iklim seperti peningkatan frekuensi El nino pada tahun 2023-2024 yang tercatat sebagai tahun paling kering dan paling panas dibanyak belahan dunia menguatkan bukti resiko ini.
Perubahan iklim juga dapat mempengaruhi ketahanan pangan dan gizi, yang dapat mempengaruhi kekebalan dan kerentanan terhadap penyakit. Misalnya, fenomena El Nino pada tahun 2023-2024 telah menyebabkan kekeringan yang ekstrem dan berdampak pada hasil pertanian. Kekeringan ini menyebabkan tanaman pangan mengalami stres air dan menurunnya efektivitas pemupukan sehingga pertumbuhannya terhambat. Akibatnya, produktivitas tanaman seperti padi, jagung, kedelai, dan lainnya dapat menurun secara signifikan. Krisis pangan ini telah menyebabkan penghentian ekspor produk pangan dari hampir semua negara eksportir pangan terbesar dan peningkatan harga bahan pangan di berbagai belahan dunia.
Dalam menghadapi dua krisis besar ini, pandemi global dan perubahan iklim, kita harus memahami bahwa keduanya saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain dalam berbagai cara. Kita tidak bisa hanya fokus pada satu tantangan dan mengabaikan yang lain. Sebaliknya, kita harus mengambil pendekatan holistik dan terintegrasi untuk mengatasi kedua tantangan ini. Ini berarti memperkuat sistem kesehatan kita untuk merespons pandemi, sambil juga mengambil tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Hanya dengan cara ini kita dapat memastikan masa depan yang sehat dan berkelanjutan untuk semua orang. Mari kita bersama-sama berkontribusi dalam upaya ini dan menciptakan perubahan yang kita inginkan. Karena, seperti yang kita ketahui, hanya ada satu Bumi, dan kita semua memiliki bagian dalam menjaganya.
Kontributor:
Meiardhy Mujianto
“Kita hidup di planet ini seolah-olah kita harus pergi ke planet lain.”
-Terri Swearingen
Jaga lingkungan bersama Relung Indonesia Foundation! Dapatkan informasi terkini seputar kehutanan dan lingkungan di Indonesia.
Relung Indonesia Foundation
Copyright © 2023. All rights reserved.