‘Beri aku 10 Pemuda, Niscaya akan kuguncangkan dunia’ – Soekarno.
Pernyataan Presiden Soekarno ini masih menjadi cambuk penyemangat peran pemuda dalam pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia. Pemuda diyakini dapat menjadi motor penggerak perubahan nasib bangsa di berbagai bidang kehidupan baik ekonomi, sosial, budaya, lingkungan dan politik. Dalam konteks pembangunan desa, Pemuda menduduki posisi penting dalam dinamika perkembangan desa dan menjadi bagian dari elemen masyarakat yang secara aktif, kreatif dan inovatif mampu memanfaatkan berbagai peluang sumberdaya desa termasuk peluang ekonomi desa atau kewirausahaan desa. Bila dicermati saat ini untuk wilayah desa, gerakan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kewirausahaan desa banyak dilakukan oleh pemuda. Termasuk di ke-empat desa di Kecamatan Petungkriono, Kabupaten pekalongan yang menjadi desa dampingan RELUNG Indonesia dalam Program Pengembangan Agroforestry dan Pertanian Terpadu untuk Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup di Hulu DAS Sengkarang Jawa Tengah. Program ini menjadi bagian dari implementasi DANA TERRA (Dana Untuk Kesejahteraan dan Ekonomi Berkelanjutan Masyarakat dan Komunitas Lokal) yang dikembangkan oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Pemuda ‘Motor’ Penggerak Perubahan di Desa
Desa merupakan kesatuan wilayah yang dihuni oleh masyarakat yang mempunyai system pemerintahannya sendiri. Desa dengan berbagai permasalahannya, mulai dari kemiskinan, sanitasi dan kesehatan, konsumsi masyarakat, tingkat pendidikan SDM, sarana prsarana, teknologi termasuk permasalahan hubungan sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat. Berbagai permasalahan ini berusaha diatasi dengan program pembangunan desa.
Pembangunan desa saat ini diarahkan untuk kemandirian masyarkat desa. Berdasarkan UU No.6 tahun 2014 tentang Desa, bahwa pembangunan desa yaitu peningkatan pelayanan dasar, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan, pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif, pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna dan peningkatan kualitas ketertiban dan ketentraman masyarakat desa. Program pembangunan berkelanjutan di desa saat ini juga menerapkan prinsip-prinsip SDGs (Sustainable Development Goals).
Di Kecamatan Petungkriono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah terdapat sembilan (9) desa. Desa-desa tersebut memiliki potensi dan sumber daya lokal yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini merupakan salah satu peluang untuk dikembangkan sebagai usaha oleh masyarakat desa.
Salah satu aktor penting motor penggerak perubahan di desa adalah pemuda. Pemuda desa memiliki peran dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan di daerah pedesaan. Namun, seringkali mereka menghadapi tantangan dalam mengembangkan potensi kewirausahaan mereka karena keterbatasan akses ke pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya yang diperlukan.
Yayasan Relung Indonesia dalam implementasi program Dana TERRA merangkul empat (4) desa di kecamatan Petungkriono, yaitu desa Kayupuring, desa Yosorejo, desa Tlogopakis dan desa Tlogohendro. Ke-empat desa ini memiliki potensi sumberdaya manusia khususnya orang-orang muda yang terlibat dan menjadi inisiator terbentuknya berbagai organisasi dan usaha di desa, diantaranya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), orang muda pemilik usaha kecil seperti Kopi, komunitas pencinta alam dan fotografi yang mengembangkan layanan wisata alam, serta usaha lainnya banyak dimotori oleh pemuda.
Diskusi pengembangan usaha bersama pegurus BUMDes, Pokdarwis dan Pelaku usaha lainnya di Kecamatan Petungkriyono.
Menumbuhkan Orang Muda Yang Kreatif dalam Pengembangan Potensi Desa
Di desa saat ini terdapat berbagai lembaga ekonomi yang mengembangkan berbagai jenis usaha, namun belum berjalan secara optimal. Lembaga-lembaga seperti BUMDes, BUMDesMa, Pokdarwis, Kelompok Tani, dll merupakan lembaga-lembaga yang ada di desa yang didesign untuk menumbuhkan ekonomi masyarakat. Saat ini banyak sekali generasi muda yang tergabung di lembaga-lembaga di atas. Beberapa pemuda juga memilih menjalankan sendiri usahanya dengan berbekal kreativitas masing-masing seperti mendirikan toko/café, beternak kambing, beternak madu, dll. Pengembagan berbagai jenis usaha diatas pada dasarnya membutuhkan semangat dan kreativitas yang secara terus menerus diasah oleh para pelakunya.
Yayasan Relung Indonesia mengadakan berbagai kegiatan seperti Pelatihan Kewirausahaan, Pelatihan Pengembangan Agroforestry yang menyasar dan juga kegiatan pendampingan lembaga-lembaga usaha dengan sasaran utama Pemuda dan Petani Muda di Desa. Berbagai kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian aktivitas dalam Program Pengembangan Agroforestry dan Pertanian Terpadu untuk Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup di Hulu DAS Sengkarang Jawa Tengah, sebagai salah satu program Dana TERRA yang merupakan program kerjasama BPDLH dan Ford Foundation.
Pelatihan pengembangan Agroforestry yang diikuti oleh petani-petani muda laki-laki dan perempuan.
Kegiatan pengembagan kreativitas usaha yang dilaksanakan oleh Yayasan RELUNG Indonesia ini melibatkan berbagai unsur dari dalam desa sendiri seperti pelaku usaha dan juga perangkat pemerintah desa. Selain itu juga melibatkan unsur dari luar desa seperti komunitas pengusaha muda yang ada di Kabupaten Pekalongan. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan budaya entrepreneurship (kewirausahaan) pada generasi muda agar siap memasuki persaingan ekonomi yang semakin kompetitif dan terbuka masa kini dan mempersiapkan di waktu mendatang.
Pengembangan kewirausahaan menjadi salah satu alternatif cara untuk menyelesaikan masalah pengangguran dimana generasi muda dibimbing untuk memiliki mental mandiri agar dapat memililki pemikiran yang ‘out of the box’ terhadap situasi yang ada dan berani mengambil langkah dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri dan dan orang lain, sehingga dapat menggairahkan pertumbuhan ekonomi desa.
“Pemuda adalah aset bangsa yang harus dikembangkan potensinya supaya bisa meneruskan perjuangan Bapak Bangsa, karena Pemuda hari ini merupakan pemimpin hari esok.”
Pelatihan dan Mentoring generasi muda Petungkriyono oleh komunitas pengusaha Pekalongan. (1)
Pelatihan dan Mentoring generasi muda Petungkriyono oleh komunitas pengusaha Pekalongan. (2)
Pada tanggal 12 April 2022, sebuah kegiatan sosialisasi yang berfokus pada pengembangan potensi komoditi gula aren di Desa Penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) telah berhasil diadakan. Acara ini telah berhasil mengundang perwakilan petani penyadap nira aren dari tiga desa berbeda, yaitu Belinteng, Rumah Galuh, dan Telagah, yang semuanya terletak di Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat.
Kegiatan ini juga turut mengundang perwakilan kelompok perempuan, Camat Sei Bingai, Kepala Desa, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V BBTNGL, serta Dinas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kabupaten Langkat. Tidak ketinggalan, Direktur Yayasan Relung Indonesia juga hadir untuk memberikan dukungan dan arahan kepada seluruh peserta.
Dalam suasana yang penuh semangat, para peserta dari berbagai lapisan masyarakat berkumpul untuk mendiskusikan langkah-langkah yang akan diambil dalam rangka pengembangan gula aren. Dalam diskusi ini, berbagai harapan, ide, dan rekomendasi diperoleh dari para petani, kelompok perempuan, serta berbagai pihak yang hadir.
Kegiatan ini bertujuan untuk menjembatani peningkatan mata pencaharian petani produsen gula aren agar tetap relevan secara ekonomi. Dengan membentuk kelompok tani yang solid dan terkoordinasi dengan baik, diharapkan potensi komoditi gula aren dapat lebih dioptimalkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menjaga keberlanjutan lingkungan.
Kegiatan ini akan terus mendapatkan dukungan dan pengawasan dari berbagai pihak terkait, termasuk Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V BBTNGL dan Dinas UMKM Kabupaten Langkat. Melalui kolaborasi yang sinergis, diharapkan bahwa program pengembangan kelompok tani gula aren ini dapat memberikan manfaat nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat desa penyangga TNGL.
Dokumentasi kegiatan sosialisasi Pengembangan Kelompok Tani (1).
Dokumentasi kegiatan sosialisasi Pengembangan Kelompok Tani (2).
Dokumentasi kegiatan sosialisasi Pengembangan Kelompok Tani (3).
Pernahkah kalian membayangkan, apabila ada sekitar 5 ton limbah ternak yang dibuang ke aliran sungai begitu saja setiap harinya? Begitulah yang terjadi di kebanyakan daerah dataran tinggi di Indonesia yang belum teredukasi dengan baik. Melihat fenomena ini, Relung bekerja sama dengan pemerintah Desa Yosorejo, Kecamatan Petungkriyono, mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi mengatasi masalah limbah ternak tersebut.
Kecamatan Petungkriyono merupakan hulu DAS Sengkarang, dan sebagian besar airnya masih dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan di daerah bawahnya seperti kabupaten hingga kota Pekalongan. Oleh karena itu, mengatasi masalah limbah ternak menjadi prioritas penting bagi masyarakat di daerah ini.
Program Relung
Salah satu program yang ditawarkan oleh Yayasan Relung Indonesia adalah pendampingan pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik. Melalui pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Relung Indonesia, masyarakat di Desa Yosorejo berhasil memanfaatkan limbah ternak menjadi sumber daya yang bermanfaat. Program ini memberikan solusi yang ramah lingkungan dan efektif untuk mengatasi masalah limbah ternak, sementara mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat.
Program ini dilaksanakan di Desa Yosorejo, Kecamatan Petungkriyono. Melalui diskusi panjang bersama Pemerintah Desa dan Kelompok Tani Hutan. Terdapat kurang lebih 170 kandang masyarakat yang sepakat untuk mengumpulkan limbah ternaknya ke dalam unit produksi pupuk organik yang dikelola oleh BUMDES Desa Yosorejo, yang kemudian akan diolah menjadi bahan baku produksi.
Proses pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik dilakukan dengan metode yang aman dan efektif, sehingga mampu menghasilkan pupuk berkualitas tinggi yang dapat digunakan sebagai sumber daya alam yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dengan pendampingan pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik, program ini berhasil mengatasi masalah limbah ternak yang tadinya dibuang begitu saja di aliran sungai, sehingga mengurangi pencemaran air dan memperbaiki kualitas air di sekitar desa. Pupuk organik yang dihasilkan dari limbah ternak juga lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, karena tidak menggunakan bahan kimia yang dapat mencemari air dan tanah. Sehingga kualitas tanah di sekitar desa akan menjadi lebih subur, serta meningkatkan kualitas hasil panen dan meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Hal ini membuat program ini menjadi solusi yang efektif dan ramah lingkungan dalam mengatasi masalah limbah ternak dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi masyarakat. Serta memberikan dampak positif pada perekonomian warga.
Dalam jangka panjang, program ini dapat membawa dampak positif yang signifikan pada kualitas air di daerah tersebut hingga di daerah-daerah lain di bawahnya, serta memberikan contoh bagi daerah lain untuk mengatasi masalah serupa. Penggunaan pupuk organik yang ramah lingkungan juga dapat membantu menjaga keseimbangan lingkungan dan mengurangi pencemaran air dan tanah akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan.
Dengan demikian, program ini dapat membawa dampak yang positif pada lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat, serta berkontribusi pada upaya pelestarian lingkungan hidup yang lebih baik bagi generasi mendatang. Selain itu, program ini juga dapat diaplikasikan di daerah lain untuk mengatasi masalah limbah ternak, sehingga memberikan manfaat yang lebih luas lagi bagi masyarakat Indonesia.
Jika Anda tertarik untuk mendukung program pendampingan Yayasan Resiliensi Lingkungan dalam mengatasi permasalahan lingkungan di Kecamatan Petungkriyono, Anda dapat menghubungi kami melalui website resmi kami di www.relungindonesia.org Mari bersama-sama menjaga lingkungan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Petungkriyono!
Peternak muda dari Desa Yosorejo mengumpulkan limbah ternaknya ke Unit Produksi Pupuk Organik.
Para peternak sapi Desa Yosorejo bersama-sama mengumpulkan limbah ternaknya.
Berpuluh-puluh tahun kawasan perkampungannelayan Sungsang, Kecamatan Banyuasin II,Kabupaten Banyuasin bermasalah dengan sistempengelolaan sampah. Dapat diakatakan bahwa ditengah pemukiman yang padat ini tidak ada sistempengelolaan sampah sama sekali. Membuang sampahdisembarang tempat pun jadi kebiasaan masyarakatsehari-hari. Konsekuensinya sampah menumpuk danberserakan diantara rumah-rumah dan dibawahrumah panggung yang dihuni warga.
Belum Ada Solusi
Perkampungan yang terdiri dari 5 desa ini menurut data resmi tahun 2018 dihuni oleh kurang lebih 23.758 jiwa penduduk atau kurang lebih sekitar 5000 Kepala Keluarga ini merupakan perkampungan yang sangat padat di kawasan pasang surut muara Sungai Musi dan pesisir Selat Bangka. Perkampungan ini tidak dilengkapi dengan sistem pembuangan sampah sehingga masyarakat membuang sampah begitu saja di area pemukiman atau pantai dan tepian laut. Lambat laun sampah plastik terlihat menumpuk di setiap pojok, lorong dan sudut pemukiman dan menciptakan pemandangan yang kumuh dan kotor. Pemerintah Kabupaten, Kecamatan dan juga pemerintah desa hingga program ini dijalankan belum menemukan solusi tentang masalah persampahan ini. Beberapa permasalahan yang dihadapi adalah tidak adanya alokasi lahan untuk pembuangan akhir atau pembuangan sementara dan juga kemauan penduduk untuk mengeluarkan atau membayar biaya pengolahan sampah. Pemerintah juga terlihat masih enggan membangung infrastruktur pengelolaan sampah karena belum ada sistem pengelolaan yang tepat. Hingga tahun 2019 nampak belum ada solusi tentang penanganan permasalahan sampah di kawasan yang menjadi pusat kegiatan perikanan tangkap di Sumatera Selatan ini.
Strategi Sederhana, Efektif dan Mudah Direplikasi
Diperlukan pendekatan dan strategi yang tepat dan mudah diterima masyarakat untuk mengatasi persoalan sampah di kawasan ini. Yayasan RELUNG-PENABULU-KELOLA Sendang mencoba menggagas strategi dan pendekatan. Inisiatif ini dimulai dengan diskusi awal antara anggota perangkat desa-desa yang ada di Perkampungan Sungsang dan pihak Kec. Banyuasin II pada awal bulan Agustus 2019. Diskusi ini memunculkan berbagai ide. Salah satunya mengintegrasikan gerakan pengelolaan sampah dengan aktivitas pendidikan dan kebudayaan. Hal ini didasari pemikiran bahwa edukasi terkait sampah merupakan hal utama dan pertama untuk mengubah persepsi dan perilaku masyarakat setempat terkait pengelolaan sampah.
Berdasarkan rangkaian diskusi dengan pemerintah kecamatan maka disusunlah strategi kampanye bertemakan Sungsang Bersih dan pengembangan Bank Sampah. Selanjutnya disepakati pelaksanaan hal-hal yang lebih implementatif sebagai berikut:
Dicanangkan beberapa area percontohan bersih
Digalakkan kegiatan atau program Gerakan Jumat Bersih
Dilakukan kegiatan pengumpulan sampah di suatu tempat
Dilakukan sosialisasi tentang permasalahan sampah dan rencana pengelolaannya kepada staf kecamatan, sekolah, perangkat desa, dan juga
Pembentukan lembaga dan pengurus Bank Sampah
Dilakukan penjajakan pasar untuk penjualan sampah yang telah dipilah oleh penggiat Bank
Berdasarkan kesepakatan diatas maka ditetapkan beberapa area percontohan bebas sampah, yaitu:
Komplek kecamatan,
komplek puskesmas,
komplek Balai Desa
kompleks sekolah SD Negeri Banyuasin II
Selain menciptakan komplek percontohan bebas sampah melalui “Gerakan Jumat Bersih”, pemerintah kecamatan juga mengembangkan sistem pengelolaan Bank Sampah. Bank Sampah ini dikembangkan di Ibukota Kecamatan yaitu Desa Sungsang I. Gerakan Jumat Bersih dan Pengembangan Bank Sampah ini terbukti secara efektif bisa mempengaruhi pola pikir masyarakat dan juga pemerintah desa-desa kawasan perkampungan Sungsang. Pengelolaan Tempat Pengumpulan Sementara dan Bank Sampah ini merupakan bentuk inovasi kelembagaan dalam mengatasi persoalan sampah. Keberadaan Bank Sampah dan sistem penampungannya mampu memberikan daya ungkit bagi masyarakat untuk mengembangkan sistem pembuangan sampah. Pengelola Bank Sampah mengumpulkan sampah dari masyarakat dan mencatat volume sampah yang dikumpulkan warga. Selanjutnya sampah an organic seperti plastic, kertas, logam dan lain sebagainya dijual ke Palembang ke pengepul sampah komersial. Saat ini pengelola Bank sampah ini memperoleh subsidi pendanaan dari pemerintah kecamatan sebagai pegawai honorer, namun selanjutnya akan ditopang pula dari hasil penjualan sampah yang terkumpul.
Pihak Kecamatan Banyuasin II juga membentuk Petugas Kebersihan khusus yang bertugas mengangkut sampah yang telah dikumpulkan warga di ujung- ujung lorong. Dari ujung lorong-lorong ini sampah diangkut ke tempat penampungan sementara. Pengangkutan oleh petugas ini dilakukan pada saat pagi dan malam hari.
Salah satu moment Gerakan Jumat Bersih yang diikuti oleh para pelajar peserta Pendidikan Lingkungan dan Kebencanaan di Desa Sungsang I.Diskusi generasi muda untuk merencanakan kampanye Sungsang BersihLorong utama (jerambah panjang) setelah Gerakan Jumat Bersih. Pemukiman menjadi nampak bersih dan asri
Kerusakan lingkungan hidup salah satunya disebabkan oleh pengabaian aspek lingkungan hidup dalam membangun sektor-sektor pembangunan yang diperhitungkan dapat memberikan kontribusi tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi mungkin dicapai, namun kerusakan lingkungan yang terjadi justru mengurangi makna dari pembangunan itu sendiri tatkala berdampak pada rusaknya hutan, sungai, pesisir dan juga kualitas udara yang menurun. Apalagi pertumbuhan ini pada akhirnya juga masih diikuti oleh tingkat kemiskinan yang tinggi dan infrastruktur sosial yang masih belum memadai. Pendekatan pembangunan dengan bertumpu pada “sektor-sektor” unggulan untuk meraih pertumbuhan saatnya untuk direnungkan kembali.
Paska kebakaran lahan dan hutan besar-besaran pada tahun 2015 [1] menjadikan pemerintah daerah dan parapihak di Sumatera Selatan mulai menyadari pentingnya sinergi antar sektor terutama untuk mengatasi berbagai resiko lingkungan hidup dan pengentasan kemiskinan. Pendekatan multipihak, multi-sektor, dan multi-tingkat mulai dirintis untuk memantapkan arah tata kelola skala lanskap (landscape governance). Project KELOLA Sendang (Kemitraan Pengelolaan Lanskap Sembilang Dangku) menjadi salah satu momentum berarti dalam hal ini. [2]
[2] KELOLA Sendang adalah sebuah project yang mempromosikan pendekatan lanskap di Sumatera Selatan. Project ini diselenggarakan oleh konsorsium beberapa NGO lokal maupun internasional yang dimotori oleh ZSL, yang diselenggarakan pada tahun 2016-2019. Area project ini meliputi bentang alam dari Taman Nasional Sembilang (Kabupaten Banyuasin) hingga Suaka Margasatwa Dangku (Kabupaten Musi Banyuasin).
Pendekatan Lanskap menjadi istilah yang sangat akrab sejak saat itu bagi para pemangku kepentingan di Sumatera Selatan. Pendekatan baru tersebut lebih mengedepankan kontribusi gagasan dan keterlibatan para pemangku kepentingan—baik masyarakat, pemerintah, maupun swasta. Yayasan Resiliensi Lingkungan Indonesia (RELUNG Indonesia) terlibat bersama dengan Yayasan Penabulu yang dipercaya untuk menggagas dan mengembangkan sebuah Rencana Induk (masterplan) KELOLA Sendang sebagai rencana kolaborasi jangka panjang parapihak pada lanskap Sembilang-Dangku. Dokumen ini ini mempunyai periode perencanaan 10 tahun (2018-2028).
Selain fokus pada 2 (dua) tujuan utama yakni meraih kelestarian lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan mewujudkan ekonomi inklusif untuk kesejahteraan masyarakat, Masterplan KELOLA Sendang juga menetapkan 3 (tiga) Area Model Kemitraan meliputi Kawasan Dangku Meranti, Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Merang – Sungai Ngirawan, dan Kawasan Penyangga TN Berbak Sembilang di Kecamatan Banyuasin II dan Kecamatan Karang Agung Ilir . Para stakeholders pada masing-masing area model pun tergabung dalam sebuah forum multipihak antara lain Forum Dangku Meranti, Forum Medak Merang Kepayang, dan Forum Sembilang Banyuasin.
Masterplan Sebagai Wujud Kepedulian Bersama
Masterplan KELOLA Sendang merupakan suatu bentuk perencanaan kolaboratif untuk mengembangkan rencana aksi kemitraan di Lanskap Sembilang Dangku. Sebagai bentuk perencanaan kolaboratif, masterplan tersebut disusun berdasarkan masukan dari parapihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan Lanskap Sembilang Dangku ,meliputi; pemerintah, swasta, dan masyarakat. Disebutkan pula, bahwa tujuan penyusunan masterplan ini adalah sebagai penopang Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Sumatera Selatan sebagaimana tertuang dalam Green Growth Plan (GGP) pada Peraturan Gubernur Nomor 21 Tahun 2017.
Dokumen Masterplan KELOLA Sendang merupakan salah satu hasil kerja PSU – PIU sebagaimana dimandatkan oleh SK Gubernur Sumatera Selatan No. 332/KPTS/Bappeda/2017 Tentang Pembentukan Tim Project Supervisory Unit dan Project Implementing Unit Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan Sembilang Dangku. SK tersebut menyebutkan bahwa salah satu tugas Tim PSU – PIU adalah menyusun Rencana Induk Kelola Sendang beserta target-target pencapaian proyek per tahunnya (project milestone) yang akan mengkonsolidasikan seluruh rencana kerja para pihak pada Lanskap Sembilang Dangku. Tim PSU – PIU merampungkan Masterplan KELOLA Sendang pada bulan Agustus 2018 dan dilanjutkan dengan penyerahan dokumen masterplan kepada PSC (Project Steering Committee) yang juga terdiri dari unsur Pemerintah Pusat, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Restorasi Gambut (BRG) pada bulan September 2018.
Pemaparan Konsep Masterplan KELOLA SENDANG
Masterplan KELOLA Sendang memiliki visi “mewujudkan lanskap berkelanjutan melalui kemitraan masyarakat – pemerintah – swasta yang kuat dan efektif pada Lanskap Sembilang Dangku untuk meraih kelestarian lingkungan hidup dan sumberdaya alam serta mewujudkan ekonomi inklusif untuk kesejahteraan masyarakat”. Masterplan yang memiliki jangka waktu antara tahun 2018 sampai 2028 ini terbagi dalam Periode Jangka Menengah I (2018 – 2023) dan Periode Jangka Menengah II (2023 – 2028). Sementara itu, tujuan yang akan diraih dalam 10 tahun ke depan meliputi lingkungan hidup dan sumber daya alam yang lestari dan ekonomi yang inklusif. Lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang lestari didekati dengan 2 (dua) sasaran, yaitu penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dan pelestarian keanekaragaman hayati (lihat Ariyanti et al., 2018:111-112). Sedangkan sasaran ekonomi inklusif didekati dengan dimensi kunci pertumbuhan ekonomi inklusif (inclusive growth), yaitu mencapai pertumbuhan berkelanjutan yang akan menciptakan dan memperluas peluang ekonomi, dan memastikan akses yang lebih luas terhadap peluang-peluang tersebut. Secara umum, masterplan ini memiliki 2 (dua) tujuan, 7 (tujuh) sasaran utama, 19 program prioritas, dan 5 (lima) tema kolaborasi. Kelima tema kolaborasi dalam masterplan tersebut meliputi pelestarian keanekaragaman hayati dan perbaikan tutupan lahan, penguatan akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan, perkebunan dan hutan tanaman berkelanjutan, pengembangan agrobisnis dan agroindustri di pedesaan, dan pengembangan kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
Diakui, proses penyusunan masterplan yang mengedepankan pendekatan multipihak ini masih belum mampu menjangkau keseluruhan stakeholders yang ada. Hal tersebut tentu saja merupakan sebuah keniscayaan yang dapat segera dipahami dan dimaklumi menilik besarnya luas cakupan Lanskap Sembilang Dangku dengan tingginya jumlah dan beragamnya jenis aktor pemangku kepentingan. Meskipun demikian, masterplan dan berbagai dinamika proses yang berlangsung selama ini telah mampu menghasilkan kepedulian bersama terhadap Lanskap Sembilang Dangku. Dalam kerangka pendekatan lankskap (landsape approach), Sayer et al. (2013:3) menyatakan bahwa kepedulian bersama (common concern) merupakan titik masuk dalam membangun kepercayaan dan konsensus para pemangku kepentingan untuk bekerja bersama mengatasi berbagai permasalahan.
Skema Masterplan KELOLA Sendang
Memang, sejauh ini, sebagai wujud kepedulian bersama (common concern), Masterplan KELOLA Sendang masih belum memiliki kepastian hukum secara formal, sehi ngga keberadaannya masih belum mampu sepenuhnya menjadi acuan bersama dalam pengaturan lanskap (landscape governance). Masterplan KELOLA Sendang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SK Gubernur Sumsel No. 332/KPTS/Bappeda/2017, sehingga dengan sendirinya—memiliki status legal dari ikatan dasar hukum yang melingkupinya. Dalam berbagai kerja kolaborasi (collaborative action), legitimasi dari para aktor pemangku kepentingan lebih diperlukan bagi berlangsungnya tindakan bersama secara nyata. Namun demikian, harus dipahami pula bahwa terdapat beberapa aktor yang hanya dapat bertindak atas dasar regulasi legal-formal. Dengan demikian, upaya legalisasi Masterplan KELOLA Sendang harus tetap dituntaskan—dengan tetap selalu menjaga legitimasi dari berbagai pihak dan kalangan yang berkepentingan.
Menilik durasi waktunya yang relatif panjang, upaya legalisasi masterplan juga harus diarahkan untuk tidak menjadikannya sebagai sebuah rencana induk yang baku dan bersifat statis. Aturan main bagi terbukanya peluang penyesuaian terhadap masterplan tersebut harus tetap tersedia, agar supaya relevansi dan koherensi terhadap situasi dan kondisi lanskap yang dinamis dapat terus terjaga. Reed et al. (2016:2543-2544) menyampaikan bahwa, secara inheren, lanskap bersifat dinamis. Komponen pembentuk lanskap—baik biofisik, sosial, maupun politik—tidak pernah statis dan perubahan stokastik dapat, akan, dan pasti berlangsung.
Oleh: Rohny Sanyoto dan Akhmad Arief Fahmi
Referensi:
Reed, James et al., 2016. Integrated Landscape Approaches to Managing Social and Environmental Issues in The Tropics: Learning from The Past to Guide The Future, Global Change Biology (2016) 22, 2540 – 2554.
Sayer, Jeffrey et al., 2013. Ten Principles for a Landscape Approach to Reconciling Agriculture, Conservation, and Other Competing Land Uses, Article in Proceedings of the National Academy of Sciences, May 2013.
Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan No. 332/KPTS/Bappeda/2017 Tentang Pembentukan Tim Project Supervisory Unit dan Project Implementing Unit Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan Sembilang Dangku
Sumatera Selatan Di Antara Fragmentasi Pengaturan Sumberdaya Alam
Bentang wilayah Provinsi Sumatera Selatan adalah sebesar 86.700,68 km2 terbagi dalam 17 kabupaten/kota, 239 kecamatan, serta 386 kelurahan dan 2.862 desa (BPS Sumsel, 2019). Topografi wilayah ini didominasi oleh dataran rendah yang luas dengan rawa-rawa dan payau pada sisi timur dan pegunungan Bukit Barisan pada sisi barat. Bukit Barisan merupakan hulu bagi sebagian besar sungai di Sumatera Selatan, termasuk Sungai Musi dan anak-anak sungainya—seperti Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan, Sungai Rupit, dan Sungai Rawas. Hanya Sungai Mesuji, Sungai Lalan, dan Sungai Banyuasin—yang tak bermata air dari pegunungan Bukit Barisan.
Sumber daya air tersedia melimpah pada wilayah yang acap dijuluki Bumi Sriwijaya ini. Namun, kelimpahan tersebut masih terlihat belum dapat dikelola secara optimal untuk memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan air minum, pertanian, perikanan, transportasi, pembangkit energi, dan lain sebagainya. Bahkan, keberadaannya semakin terdegradasi sebagai akibat dari praktik-praktik investasi yang eksploitatif dan fragmentasi pengaturan ruang. Selain dirasakan semakin keruh dan tercemar, aliran sungai terus mengalami sedimentasi dan pendangkalan. Konon, pendangkalan sungai tersebutlah yang menjadi salah satu musabab tidak difungsikannya lagi Jembatan Ampera yang didesain untuk bisa dinaikturunkan [1]. Pendangkalan Musi telah menyebabkan tidak ada lagi kapal besar yang bisa berlayar.
Sebagian besar wilayah Sumatera Selatan merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi, pun sebaliknya, sebagian besar wilayah DAS Musi berada pada Provinsi Sumatera Selatan. Sumatera Selatan mendominasi 95 % wilayah DAS Musi, sementara DAS Musi menguasai 59 % area Provinsi Sumatera Selatan. Karena kondisinya yang kritis, DAS Musi ditetapkan sebagai salah satu DAS Prioritas dalam RPJMN 2015 – 2019 dan SK 328/Menhut-II/2009. Tingkat kekritisan DAS menunjukkan penurunan penutupan vegetasi permanen dan peningkatan luas lahan kritis, sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air. Terganggunya fungsi hidrologis tersebut tercermin dalam meningkatnya frekuensi kejadian banjir, erosi, dan tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dokumen SeHati Sumsel [2] 2017 – 2021 menyebutkan bahwa lebih dari 44 % lahan berada dalam kondisi kritis dan sangat kritis, dan hanya 11 % dalam kondisi baik.
______________________
[1]Jembatan Ampera diresmikan pada tahun 1965 oleh Presiden Soekarno dan menjadi jembatan terpanjang di Asia Tenggara pada waktu itu. Jembatan ini diniatkan untuk menghubungkan 2 (dua) daratan yang terpisah oleh Sungai Musi, yakni Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Sebenarnya, gagasan pembuatan jembatan penghubung ini telah mengemuka sejak tahun 1906 dan mencuat kembali pada tahun 1924. Di masa kemerdekaan, pembangunan Jembatan Ampera disetujui pada tahun 1956, namun baru dapat direalisasikan sejak bulan April 1962. Selain menghubungkan kedua daratan, jembatan tersebut didesain untuk memungkinkan kapal besar yang berlayar tetap dapat melintasinya. Namun, sejak tahun 1970, fungsi tersebut telah tidak dijalankan lagi.
[2]waktu pengangkatan jembatan yang memakan waktu lama, kapal besar pun tidak lagi dapat berlayar di Sungai Musi sebagai akibat berlangsungnya pendangkalan sungai. (Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Provinsi Sumatera Selatan)
Daerah Aliran Sungai Musi
Menurut Ulya (2016:232), tekanan terhadap DAS Musi cenderung bersifat antropogenik. Jumlah penduduk yang terus meningkat membutuhkan air dan lahan yang juga meningkat dari waktu ke waktu. Kebutuhan lahan budidaya dan infrastruktur dalam rangka pembangunan ekonomi memberikan tekanan pada kondisi tutupan lahan DAS Musi. Industrialisasi pun turut berkontribusi pada penurunan kualitas air dan lingkungan pada DAS tersebut. Sementara, Dishut Sumsel (2017:14) menyatakan bahwa berbagai tekanan yang tinggi dari berbagai hal diantaranya perluasan lahan pertanian dan perkebunan, eksploitasi hutan yang tidak lestari, eksploitasi tambang, pembalakan liar, transmigrasi, dan pertambahan penduduk menyebabkan rendahnya prosentase tutupan hutan yaitu hanya 11 %. Analisis data tutupan lahan menunjukkan keberadaan kurang lebih 1,06 juta hektar hutan alam pada tahun 2000, tetapi menurun menjadi 0,942 juta hektar pada tahun 2012, atau menurun sebesar 9.780 hektar per tahun.
Selain pertumbuhan penduduk, penurunan tutupan hutan (forest cover) tersebut memang tidak terlepas dari bertumbuhnya situasi perekonomian Provinsi Sumatera Selatan yang ditopang oleh sektor perkebunan sawit dan pertambangan. Menurut PASPI (2016:11), luas kebun sawit Sumatera Selatan mengalami peningkatan dari 54 ribu hektar pada tahun 1990 menjadi 1,1 juta hektar pada tahun 2015. Berdasarkan BPS Sumsel (2019:231), luas areal tanaman perkebunan kelapa sawit adalah seluas 1.366.906,69 hektar pada tahun 2018. PASPI (2016:13) juga mencatat kenaikan volume ekspor minyak sawit Sumatera Selatan dari 0,5 juta ton pada tahun 2000 menjadi 2,6 juta ton pada tahun 2015—dengan nilai ekspor sebesar USD 1,8 milyar.
Tidak saja mengambil alih kawasan hutan yang dikonversi secara absah, geliat perkembangan sawit di berbagai daerah juga memicu ekspansi komoditas tersebut ke dalam kawasan hutan secara ekstra-legal [3]. Merujuk Bakhtiar et al (2019:24-26), luas tutupan sawit di dalam kawasan hutan di seluruh Indonesia adalah sebesar 3.474.443 hektar. Provinsi Sumatera Selatan berkontribusi 6,3 % atau seluas 218.425 hektar dalam ekspansi ekstra-legal tersebut dimana lebih dari separuhnya berada pada Kabupaten Musi Banyuasin. Kabupaten ini memiliki tutupan sawit di dalam kawasan hutan seluas 113.162 hektar yang tersebar pada berbagai tipe status kawasan hutan baik Hutan Produksi (50,7 %), Hutan Produksi Terbatas (9,2 %), Hutan Produksi Konversi (26,2 %), Hutan Lindung (0,1 %), dan Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam (13,8 %).
Meskipun acap dituding sebagai penyebab deforestasi, PASPI (2016:28-38) menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit juga berkontribusi dan menjadi bagian penting dalam pelestarian lingkungan hidup. Perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari “paru-paru” ekosistem Sumatera Selatan yang membersihkan udara dan menyediakan oksigen (O2) untuk kehidupan. Disebutkan pula, bahwa kebun sawit juga bagian penting dari sistem konservasi tanah dan air di Sumatera Selatan. Kelapa sawit memiliki perakaran masif yang berfungsi sebagai sistem biopori alamiah. Sistem biopori alamiah tersebut mampu mempercepat penyerapan air permukaan (infiltrasi) dan menyimpan cadangan air. Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit dapat mengendalikan erosi dan banjir ketika musim hujan dan menghindarkan kekeringan tatkala musim kemarau.
Selain perkebunan kelapa sawit, sektor pertambangan dan penggalian (mining and quarrying) memiliki kontribusi signifikan dalam perputaran roda perekonomian Provinsi Sumatera Selatan. Pada tahun 2018, sektor ini menyumbang 20,2 % PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto)—atau senilai 84,9 triliun rupiah (lihat BPS Sumsel, 2019:368-391). Pertambangan minyak bumi, gas alam, dan panas bumi mendominasi 40,2 % PDRB dari sektor tersebut—atau setara 34,1 triliun rupiah. Sementara, pertambangan batubara dan lignit menguasai 30,2 % atau senilai 25,7 triliun rupiah.
Berdasarkan tatanan teknoniknya (tectonic setting), Sumatera Selatan menempati mendala cekungan belakang busur Paleogen (Paleogene back–arc basin) yang dikenal sebagai cekungan Sumatera Selatan (South Sumatera basin) di bagian timur dan mendala busur vulkanik (volcanic arc) yang membentang secara regional di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan di bagian barat. Wilayah Sumatera Selatan yang menempati cekungan sedimen belakang busur dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi sumberdaya energi fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Sedangkan, wilayah yang berada pada busur gunung api aktif (volcanic arc) dikenal sebagai daerah yang mempunyai potensi sumberdaya energi non-fosil seperti panas bumi (geothermal) (lihat Dokumen Master Plan Provinsi Sumatera Selatan sebagai Lumbung Energi Nasional Tahun 2006 – 2025).
[3]Tindakan ekstra-legal merujuk pada aktivitas yang berlandaskan adat, kebiasaan, saling pengertian, atau konvensi bersama yang dipahami dan/atau ditaati oleh komunitas. Meskipun acapkali bersifat ilegal, tindakan ekstra-legal tidak pernah mendapatkan tindakan apa-apa dari masyarakat.
Merunut catatan Dinas Pertambangan dan Pengembangan Energi Sumatera Selatan, besarnya sumber daya dan cadangan batubara pada provinsi ini adalah sebesar 22,24 milyar ton atau 47 % dari jumlah cadangan nasional [4]. Rata-rata jumlah produksi adalah sebesar 46 – 48 juta ton per tahun. Kelimpahan batubara pada wilayah ini mengundang masuknya investasi swasta yang acapkali kurang memiliki kepedulian dalam keberlanjutan ekosistem. Berdasarkan hasil Korsup Minerba KPK [5] pada tahun 2009, dilakukan pencabutan 222 IUP [6] , 84 IUP bermasalah pada kewajiban jaminan reklamasi, dan hanya 56 IUP yang bersih atau clear and clean (CnC). Sebanyak 68 IUP yang bermasalah dengan jaminan reklamasi pun akhirnya dibekukan dan 16 IUP masih diberikan tenggat waktu. Selain perilaku para pemegang IUP tersebut, dinamika eksploitasi batubara di Sumatera Selatan juga diwarnai dengan maraknya penambangan illegal (ilegal mining) yang tidak mematuhi prosedur yang memadai di dalam menjalankan usahanya.
Sementara itu, potensi minyak bumi, gas alam, dan panas bumi di Bumi Sriwijaya pun tidak main-main. Setiap hari, Sumatera Selatan mampu menghasilkan minyak bumi sebanyak 41.057 barel. Angka tersebut hanya kalah apabila diperbandingkan dengan 4 (empat) wilayah penghasil minyak bumi lainnya yakni Riau (359.777 barel), Kalimantan Timur (134.626 barel), Daerah Laut Jawa (65.154 barel), dan Kepulauan Riau (59.210 barel) [7]. Pada awal tahun 2019, diketemukan pula cadangan gas alam sebanyak kurang lebih 2 TCF [8] di Blok Sakakemang – Musi Banyuasin. Cadangan gas alam tersebut menempati urutan ke empat terbesar di dunia setelah sumur Calypso 1 – Cyprus (3,5 TCF), Obskaya Severnaya 1 – Rusia (3 TCF), dan 1-STAT-010-SPS – Brasil (2 TCF) [9].
Sejarah eksplorasi minyak dan gas bumi di cekungan Sumatera Selatan telah dimulai sejak awal abad ke-19, dimana pada saat itu ditemukan cadangan minyak dan gas dalam jumlah yang cukup besar. Khusus pada daerah paparan Musi (Musi platform), kegiatan eksplorasi dimulai pada tahun 1939, ketika BPM melakukan pengeboran pada sumur Kikim-1 dan menemukan cadangan gas alam pada batu gamping Formasi Baturaja [10]. Saat ini, setidaknya terdapat 38 perusahaan migas yang beroperasi pada 11 kabupaten/kota di Sumatera Selatan. Musi Banyuasin merupakan kabupaten dengan jumlah sumur migas terbanyak, disusul Kabupaten Prabumulih dan Musi Rawas. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada tahun anggaran 2019 Musi Banyuasin menerima Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam (DBH SDA) Migas senilai 1,43 triliun rupiah dan menjadi kabupaten/kota penerima DBH Migas terbesar ke dua setelah Kabupaten Bojonegoro – Jawa Timur. Sementara itu, Sumatera Selatan memperoleh 908,469 milyar rupiah dan merupakan provinsi penerima DBH Migas terbesar ke lima setelah Papua Barat, Jawa Timur, Riau, dan Kalimantan Timur [11].
Seperti halnya batubara, pertambangan migas di Sumatera Selatan juga harus berhadapan dengan keberadaan para penambang liar yang merugikan negara. Menurut pantauan SKK Migas Wilayah Sumbagsel [12] , terdapat ribuan titik pengeboran ilegal (ilegal drilling) yang tersebar pada beberapa kabupaten di Sumatera Selatan terutama di Musi Banyuasin dan Jambi terutama di Batanghari. Bahkan, pengeboran ilegal ini juga telah merambah kawasan hutan dan mengancam kelestariannya. Limbah yang dihasilkan dari aktivitas tersebut pun telah mengakibatkan pencemaran lingkungan dan berdampak buruk bagi warga sekitar [13].
Potensi energi non-fosil berupa panas bumi (geothermal) juga tersedia melimpah di Sumatera Selatan. Provinsi ini memiliki 2.095 MW energi panas bumi atau hampir 10 % dari keseluruhan potensi nasional yang sebesar 29 GW. Potensi panas bumi tersebut tersebar pada beberapa Wilayah Kerja Panasbumi (WKP) seperti Danau Ranau, Lumut Balai – Margabayur, Rantau Dedap, Tanjung Sakti, dan Wai Selabung. Konsentrasi sumberdaya panas bumi di Sumatera Selatan dipengaruhi oleh kombinasi sumber panas magmatis yang berasal dari aktivitas gunung api Kuarter dan permeabilitas primer dan sekunder akibat rekahan dan/atau sesar yang terkait dengan sistem sesar Semangko. Berdasarkan kedua faktor tersebut, wilayah prospek sumber energi panas bumi meliputi Kabupaten Lahat, Kabupaten Muara Enim, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan [14].
Kelimpahan sumberdaya alam yang dimiliki Provinsi Sumatera Selatan merupakan anugerah Ilahi yang harus dimanfaatkan untuk kemakmuran bersama dengan tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang. Pengaturan sumberdaya alam yang berkelanjutan amat bergantung pada ketepatan di dalam menempatkan dan mempertautkan sistem lingkungan, sistem ekonomi, dan sistem sosial secara berimbang [15]. Tentu bukan sesuatu yang mudah, mengingat ketiga sistem tersebut dikendalikan oleh berbagai aktor yang saling bergulat mengaktualisasikan kepentingan dan eksistensinya.
Di negara ini, kewenangan atas sistem lingkungan lebih dominan dikuasai oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk penguasaan atas kawasan hutan, kawasan lindung, dan kawasan konservasi. Di berbagai tempat, penguasaan pusat ini membawa keengganan daerah untuk turut terlibat di dalamnya. Sementara itu, sistem ekonomi bukanlah sebuah ruang tertutup dimana kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah tidak bisa menjadi jaminan atas tertatanya sistem tersebut secara baik dan berkelanjutan. Kalangan swasta yang menjadi pengendali nyata atas sistem ini tidak saja berstatus level daerah maupun nasional, namun juga bersifat global. Percaturan ekonomi global akan berdampak bagi dinamika di dalam sistem ini. Sedangkan sistem sosial selalu berkaitan dengan keberagaman lanskap kehidupan masyarakat dan dinamika upaya yang ditempuh untuk meraih kualitas kehidupan yang baik. Memang, menjadi tugas pemerintah untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang baik, namun apabila tugas tersebut terabaikan, niscaya masyarakat akan bergerak secara mandiri untuk mewujudkannya.
Menilik dinamika yang berkembang saat ini, Provinsi Sumatera Selatan memiliki potensi yang menjanjikan untuk mampu menerapkan pendekatan pembangunan yang men-selaraskan sistem lingkungan, sistem ekonomi, dan sistem sosial. Pada tahun 2017, Gubernur telah menetapkan Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau Provinsi Sumatera Selatan—yang memuat 5 (lima) visi pertumbuhan—yakni Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, Pertumbuhan yang inklusif dan merata, Ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan, Ekosistem sehat dan produktif dalam menyediakan jasa lingkungan, dan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Sumatera Selatan juga telah meluncurkan Sistem Informasi Penataan Ruang atau SITARUNG yang bertujuan memperkuat sinergi dan integrasi dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian. Melalui sistem ini, diharapkanmasyarakat secara luas dapat turut berperan serta dalam melakukan pengawasan terhadap penegakan atas implementasi tata ruang.
[10]Selengkapnya lihat dokumen Master Plan Provinsi Sumatera Selatan sebagai Lumbung Energi Nasional Tahun 2006 – 2025 halaman II-11 – II-12.
[14]Selengkapnya lihat dokumen Master Plan Provinsi Sumatera Selatan sebagai Lumbung Energi Nasional Tahun 2006 – 2025 halaman II-15 – II-17.
[15]Barbier dan Burgess (2017) menunjukkan keterkaitan antar sistem lingkungan, sistem ekonomi, dan sistem sosial dalam aplikasi pendekatan sistem untuk berkelanjutan (the systems approach to sustainability) dimana kemajuan yang berfokus pada satu tujuan di dalam sistem tertentu dapat menimbulkan konsekuensi bagi tujuan-tujuan dan sistem lainnya.
A. Memahami Tata Kelola Lanskap
Terus memburuknya kualitas ekosistem yang juga dibarengi dengan fenomena pemanasan global (global warming) makin hari semakin mengancam kelestarian alam dan keberlanjutan sumber penghidupan. Dari waktu ke waktu, ancaman akan berlangsungnya krisis pangan, air, dan energi semakin menyeruak dan kian masuk akal. Pertumbuhan penduduk yang pesat telah mengakibatkan penurunan neraca air yang harus dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, industri, irigasi, dan lain sebagainya. Lahan pertanian pun bukannya bertambah, namun semakin menyempit secara signifikan dari tahun ke tahun. Menurut catatan Dewan Energi Nasional (2014), cadangan energi fosil dari minyak bumi, gas alam, dan batubara tinggal tersisa tidak lebih dari 50 tahun [16]. Mitigasi, adaptasi, dan ketangguhan perubahan iklim (climate change resilence, adaptation, and mitigation) harus secepatnya diakselerasi pengembangannya. Sudah tidak banyak lagi waktu tersedia.
Ke depan, seyogyanya pengaturan sumberdaya alam tidak boleh lagi mengalami “salah urus”. Pertaruhannya tidak lagi sederhana. Memang bukan hal yang mudah. Semua pihak harus dapat menemukan titik kompromi dalam merumuskan keseimbangan atas kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Pemerintah musti mampu memerankan diri selayaknya pemimpin orkestra yang memandu keterpaduan dan keselarasan seluruh stakeholders di dalam memainkan kepentingan dan eksistensinya. Tanpa ada satu pun pihak yang terganggu dan dirugikan. Termasuk di dalamnya, keberlanjutan ekosistem pun harus tetap dapat terjamin sebagai bagian dari kepentingan dan eksistensi generasi mendatang.
Berkaitan dengan hal tersebut, pengaturan sumberdaya alam dalam satuan bentang alam (landscape) layak diperhitungkan sebagai salah satu pendekatan untuk keberlanjutan (the approach to sustainability). Denier et al. (2015:26) mendefinisikan lanskap sebagai sebuah sistem sosial dan ekologi yang terdiri dari ekosistem alami dan/atau ekosistem hasil modifikasi manusia, dan yang dipengaruhi oleh kegiatan ekologi, historis, politik, ekonomi, dan budaya yang berbeda-beda. Pengaturan ruang dan tata kelola lanskap berkontribusi pada karakternya yang unik. Dalam sebuah lanskap, kemungkinan terdapat berbagai bentuk penggunaan lahan, seperti pertanian, kehutanan, konservasi keanekaragaman hayati, dan daerah perkotaan. Para pelaku yang mengelola bentuk-bentuk penggunaan lahan ini memiliki tujuan yang berbeda-beda, misalnya konservasi keanekaragaman hayati, produktivitas pertanian, atau ketahanan mata pencaharian.
Secara umum, tata kelola lanskap (landscape governance) didefinisikan sebagai proses kompromi atas interaksi kepentingan dari multi-sektor, multi-aktor, multi-level administrasi wilayah, dan bagaimana pengambilan keputusan pengelolaan pada spasial lanskap, bukan pada atau bukan hanya pada salah satu fungsi ruang saja (Sunderland, 2014). Dimaksudkan pada pengembangan sasaran kebijakan spesifik mengenai lanskap, bukan pada tujuan yang bersifat sektoral atau individual, landscape governance merupakan sebuah jalan untuk meraih tujuan lingkungan, ekonomi, dan sosial secara bersamaan. Sementara itu, Graaf et al. (2017:5) mendefinisikan landscape governance sebagai seperangkat aturan (kebijakan dan norma kultural) dan proses pengambilan keputusan dari para pelaku yang berkepentingan dari sektor publik, swasta, dan sipil yang mempengaruhi tindakan-tindakannya pada bentang alam.
[16]Lihat Pratiwi dan Mulyana (2016:104).
Sayer et al. (2013:3-4) menyampaikan 10 prinsip yang mewakili konsensus pendapat dari sejumlah pelaku utama tentang bagaimana produksi pertanian dan konservasi lingkungan dapat diintegrasikan dengan baik pada skala lanskap yakni:
Continual learning and adaptive management (pembelajaran berkelanjutan dan pengelolaan adaptif).
Common concern entry point (kepedulian bersama sebagai titik masuk).
Multiple scales (multi-skala).
Multifunctionality (multi-fungsi).
Multiple stakeholders (melibatkan berbagai pemangku kepentingan).
Negotiated and transparent change logic (logika perubahan yang dinegosiasikan dan transparan).
Clarification of rights and responsibilities (kejelasan hak dan tanggung jawab).
Partipatory and user-friendly monitoring (pemantauan yang partisipasi dan ramah pengguna).
Resilience (ketangguhan).
Strengthened stakeholder capacity (memperkuat kapasitas para pemangku kepentingan).
Inisiatif pendekatan lanskap lebih memiliki tujuan yang bersifat jangka panjang, meskipun difokuskan untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi pada saat ini. Harus disadari dan dipahami, bahwa persoalan dan tantangan yang timbul di dalam sebuah bentang alam (landscape) selalu saling kait-mengait dan pengaruh-mempengaruhi dengan bentang penghidupan (lifescape). Keduanya tidak boleh diatur secara terpisah.
Lebih lanjut, Sayer et al. (2013:6) juga menggambarkan perbedaan kontras antara pendekatan sektoral dan pendekatan lanskap untuk masalah lingkungan sebagaimana tergambar pada tabel berikut ini:
Tabel Perbedaan Kontras Antara Pendekatan Sektoral dan Pendekatan Lanskap
Kebijakan pemerintah tentunya dibutuhkan dalam rangka mengatur kewenangan instansi yang ada dan kepentingan atas penggunaan sumberdaya di dalam bentang alam. Kebijakan tersebut juga dapat menjadi dasar bagi penyelesaian berbagai konflik multi sektor dan multi level administrasi wilayah di dalam sebuah lanskap. Tentunya, komitmen dari para pemangku kepentingan merupakan modal utama yang harus dibangun dan diperkuat pada tahap permulaan. Dan, pada gilirannya, aksi bersama (collective action) oleh para pemangku kepentingan yang didukung dengan kerangka regulasi pengaturan bersama (collaborative governance) akan memberikan dampak bagi peningkatan ekonomi, keberlanjutan ekosistem, dan keberdayaan warga. Leadership pemerintah diperlukan untuk menjadi motor penggerak yang aktif dan dominan untuk terus melakukan konsolidasi gagasan dan sinergi tindakan bersama.
Kemitraan yang inklusif (inclusive collaboration) merupakan esensi tata kelola lanskap (landscape governance). Kemitraan inklusif adalah kemitraan yang melibatkan para pihak terkait secara aktif dan integratif dalam pengelolaan berbagai program dan kegiatan secara keruangan, waktu, penganggaran, dan kelembagaan, serta berlandaskan data, informasi, dan permodelan yang sahih. Konsep kemitraan para pihak ini disusun dengan melibatkan mobilisasi otoritas publik dari berbagai tingkat yurisdiksi secara simultan, organisasi non-pemerintah dan swasta, sekaligus berbagai gerakan sosial yang ada (Piattoni 2010). Secara rinci, kemitraan yang kokoh membutuhkan 5 (lima) elemen utama—meliputi:
Platform berbagai pemangku kepentingan,
Pemahaman bersama tentang kondisi lanskap, tantangan, dan peluang,
Perencanaan kolaboratif untuk mengembangkan rencana aksi yang telah disepakati,
Pelaksanaan rencana secara efektif dengan perhatian pada mempertahankan komitmen kerjasama, dan
Pemantauan pengelolaan yang adaptif dan akuntabel.
Berbagai “entry point” dapat dijadikan platform bersama dalam pengelolaan lanskap misalnya perubahan iklim, restorasi ekosistem, konservasi satwa, kebakaran hutan, pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya. Namun demikian, esensi pengaturan lanskap tetap harus terus dikonsolidasikan yakni keselarasan tindakan bersama (collaborative action) yang dilandasi komitmen pengaturan bersama yang dirumuskan secara deliberaif untuk mewujudkan kemakmuran, keberlanjutan ekosistem, dan keberdayaan masyarakat.
Oleh: Rohny Sanyoto dan Akhmad Arief Fahmi
Referensi:
Arts, B., Buizer, M., Horlings, L., Ingram, V., van Oosten, C. and Opdam, P., 2017. Landscape Approaches: A State-of-the-Art Review. Annual Review of Environment and Resources.
Axelsson, R., 2009. Landscape Approach for Sustainable Development. Swedish University of Agricultural Sciences.
Bahktiar, Irfan et al., 2019. Hutan Kita Bersawit: Gagasan Penyelesaian untuk Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan, Yayasan KEHATI, Jakarta
Barbier, Edward B., dan Burgess, Joanne C., 2017. The Sustainable Development Goals and The System Approach to Sustainability, Economics Discussion Papers No. 2017-28, Kiel Institute for the World Economy, Wyoming – USA.
Denier, Louisa, 2015. The Little Sustainable Landscapes Book: Achieving Sustainable Development through Integrated Landscape Management, Global Canopy Programme, Oxford.
Graaf, Maartje de et al., 2017. Assesing Landscape Governance: A Participatory Approach, Tropenbos International and EcoAgriculture Partners.
Oosten, C., Dorji, T., Rathore, B., Pradhan, N., and Choigey, T., 2017. Strengthening Landscape Governance Capacities in Bhutan, International Centre for Integrated Mountain Development, Nepal.
PASPI, 2016. Industri Minyak Sawit Sumatera Selatan Berkelanjutan, PASPI, Bogor.
Pratiwi, Nila Ardhyarini H. dan Mulyana, Wahyu, 2016. Analisis Dinamika Kebijakan untuk Mewujudkan Ketangguhan Iklim, Urban and Regional Development Institute, Jakarta.
Reed, James et al., 2016. Integrated Landscape Approaches to Managing Social and Environmental Issues in The Tropics: Learning from The Past to Guide The Future, Global Change Biology (2016) 22, 2540 – 2554.
Sayer, Jeffrey et al., 2013. Ten Principles for a Landscape Approach to Reconciling Agriculture, Conservation, and Other Competing Land Uses, Article in Proceedings of the National Academy of Sciences, May 2013.
Sayer, Jeffrey et al., 2014. Landscape Approaches: What Are The Pre-conditions for Success ?, Springer, Japan.
Sayer, Jeffrey et al., 2016. Measuring The Effectiveness of Landscape Approaches to Conservation and Development, Springer, Japan.
Dokumen
BPS, 2019. Profil Kemiskinan di Indonesia September 2018, Berita resmi statistik No. 07/01/Th. XXII, 15 Januari 2019.
BPS Banyuasin, 2019. Banyuasin dalam Angka 2019.
BPS Musi Banyuasin, 2019. Kabupaten Musi Banyuasin dalam Angka 2019.
BPS Sumsel, 2019. Provinsi Sumatera Selatan dalam Angka 2019.
Dishut Sumsel, 2017. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Provinsi Sumatera Selatan (SeHati Sumsel) 2017 – 2021.
Pemprov Sumsel, 2006. Master Plan Provinsi Sumatera Selatan sebagai Lumbung Energi Nasional Tahun 2006 – 2025, Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Universitas Sriwijaya.
Penabulu, Yayasan, 2019. Kajian Kelembagaan Kemitraan Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan: Lanskap Sembilang-Dangku Provinsi Sumatera Selatan.
Peraturan Perundangan-undangan
Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Kelembagaan Green Growth Plan dan Kelembagaan Kemitraan Pengelolaan Lansekap Ekoregion Provinsi Sumatera Selatan.
Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 21 Tahun 2017 Tentang Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau Provinsi Sumatera Selatan.
Permasalahan Hama Tikus di Kecamatan Karang Agung Ilir
Petani di Kecamatan Karang Agung Ilir mempunyai persoalan yang cukup pelik terkait dengan serangan hama tikus pada tanaman padi mereka. Hama tikus sawah (Rattus argentiventer) dirasakan sangat mengganggu keberhasilan budidaya padi dan membuat produktivitas lahan mereka menurun. Berdasarkan publikasi yang dikeluarkan Direktorat Bina Perlindungan Tanamanpada tahun 2012, pada saat padi dalam fase vegetatif, seekor tikus mempunyai kemampuan untuk merusak antara 11-176 batang padi per malam. Sedangkan pada fase generatif (bunting hingga panen) semakin meningkat menjadi 24-246 batang per malam. Pada tingkat kerusakan yang berat, biasanya hanya tersisa beberapa baris tanaman terutama pada bagian tepi. Demikian juga yang terjadi di area persawahan di Kecamatan Karang Agung Ilir, serangan hama tikus pada tanaman padi dimulai sejak fase awal budidaya atau Musim Tanam I (MT I) dan akan meningkat serangannya pada periode atau Musim Tanam II (MT II).
Karena sangat merugikan, berbagai upaya telah ditempuh masyarakat seperti memagari sawah dengan fiber atau plastik mulsa bahkan ada yang menempuh cara yang berbahaya, yaitu dengan memagari kawat yang dialiri listrik. Selain berbagai upaya yang ditempuh masyarakat tersebut pihak pemerintah daerah juga mempunyai perhatian melalui petugas pengendali Organisme Pengganggu Tanamn (OPT) di lapangan. Upaya yang ditempuh Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuasin dalam hal ini adalah berupa program perburuan tikus serempak (gropyokan) dan juga pengendalian melalui pemberian racun ke dalam lubang dan sarang tikus (pengemposan). Namun hingga tahun 2019 yang lau berbagai upaya yang telah dicoba masyarakat dan pemerintah daerah di atas dirasa belum memberikan dampak yang memadai, dan juga relatif membutuhkan biaya yang tinggi untuk pembelian plastik atau fiber.
Karakteristik Wilayah Kecamatan Karang Agung Ilir
Karang Agung Ilir merupakan Kecamatan baru hasil pemekaran dari Kecamatan Banyuasin II. Pemekaran wilayah terjadi pada tahun 2018 dan mempunyai 7 wilayah desa/kelurahan yaitu Sumber Rejeki, Sri Agung, Karangsari, Majuria, Tabala Jaya, Jati Sari, Mekar Sari. Wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata dibawah 10 mdpl dan merupakan kawasan pasang-surut karena berada di muara Sungai Musi. Di sisi timur dan selatan, wilayahnya berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Sembilang yang merupakan kawasan konservasi dengan spesies utama yang dilindungi adalah Harimau Sumatera (Panthera tigris Sumatrae) dan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Dengan demikian wilayah kecamatan ini dapat dikatakan sebagai penyangga (buffer zone) Taman Nasional Sembilang. Karena kedekatannya dengan kawasan hutan Taman Nasional ini maka areal persawahan sering mengalami gangguan juga dari babi hutan (Sus sp.). Secara umum area budidaya pertanian yang berdekatan dengan kawasan hutan menghadapi permasalahan ini di Sumatera Selatan.
Wilayah Karang Agung Ilir (warna kuning)
Wilayah Kecamatan ini merupakan kawasan transmigrasi yang dikembangkan sejak tahun 1980-an. Sebagai area transmigrasi maka sejak awal telah dipersiapkan sebagai lahan budidaya padi secara intensif yang didukung oleh jaringan irigasi pasang-surut. Dari sekitar 310.000 ha luas wilayahnya sekitar 70% merupakan lahan persawahan. Lahan persawahan ini berkurang karena sebagian telah diubah menjadi kebun kelapa yang merupakan salah satu komoditi utama selain padi. Dengan area persawahan yang luas tersebut Kecamatan Karang Agung Iir merupakan salah satu lumbung padi bagi Kabupaten Banyuasin.
Karakteristik Pemukiman di Kecamatan Karang Agung Ilir
Pengendalian Hama Tikus Dengan Tyto alba
Yayasan Penabulu bersama Tim dari RELUNG Indonesia mencoba untuk mengatasi persoalan hama tikus sawah di Kecamatan Karang Agung Ilir ini dengan memanfaatkan Tyto alba (burung hantu/serak jawa) sebagai predator alami tikus sawah. Program ini dilakukan dengan metode modifikasi habitat untuk menghadirkan Tyto alba di area persawahan. Kegiatan pengendalian hama tikus sawah ini dilakukan di Desa Sumber Rejeki dan Tabala Jaya.
Serak Jawa aktif pada malam hari (nocturnal), tidak bersifat migratory, dapat dikembangkan di areal persawahan, dapat bersarang pada sarang buatan (Nestbox) atau rumah burung hantu (Rubuha) dan umumnya sebagai binatang penetap dengan home range 1,6 – 5,6 km di sekitar sarang. Burung hantu jenis ini mampu mendeteksi mangsa dari jarak jauh, mampu terbang cepat, mempunyai kemampuan untuk menyergap dengan cepat tanpa suara, memiliki pendengaran sangat tajam dan mampu mendengar suara tikus dari jarak 500 meter. Pada umumnya seekor Serak Jawa dewasa mampu memakan tikus 2-5 ekor setiap malam, namun kemampuan memburu dan membunuh tikus dapat lebih banyak melebihi kebutuhan makannya. Pemanfaatan burung hantu adalah cara pengendalian tikus yang ramah lingkungan karena dengan cara ini petani tidak membutuhkan input kimia sintetis yang berupa racun tikus. Penggunaan racun pembunuh tikus (rodentisida) justru kontradiktif dengan metode ini karena akan beresiko bagi Si Burung Hantu itu sendiri jika memakan tikus yang sedang mengkonsumsi racun.
Berdasarkan beberapa catatan pengalaman pengembangan metode ini mempunyai beberapa kekurangan, yaitu:
Masyarakat kurang memahami karakteristik ekologi burung hantu
Tidak cepat memberikan dampak langsung di jangka pendek, sehingga dibutuhkan waktu panjang untuk melihal dampak dan manfaatnya
Mahal karena harus membangun instalasi sarang atau rumah burung hantu (RUBUHA) ataupun tenggeran. Bahkan untuk daerah yang tidak mempunyai populasi burung hantu maka harus didatangkan burung hantu yang tidak murah harganya.
Oleh karena itu beberapa langkah telah ditempuh dalam menjalankan dan mengembangkan metode ini. Tahapan-tahapan yang ditempuh adalah sebagai berikut:
Sosialisasi tentang Konsep Burung Hantu sebagai pengendali hama tikus kepada pemerintah desa dan masyarakat, khususnya para petani
Observasi lapangan secara partisipatif untuk dapat memahami keberadaan dan sifat alami dari burung hantu itu sendiri bersama masyarakat
Membangun demplot
Monitoring terhadap fungsi dan manfaat instalasi yang telah dibangun
Sosialisasi dilakukan bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan secara formal maupun informal kepada masyarakat, petani dan juga pemerintahan desa dan pemerintah daerah khususnya dari Bappeda dan Dinas Pertanian Kabupaten Banyuasin.
Sosialisasi Kepada Masyarakat dan Kelompok Tani
Observasi
Paska sosialisasi dilanjutkan dengan kegiatan observasi lapangan bersama-sama dengan masyarakat, penyuluh dan juga babinsa. Observasi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang keberadaan dan perilaku burung hantu di lapangan. Mengetahui kondisi ekosistem perdesaan dan daya dukungnya terhadap Tyto alba dan mengetahui potensi ancaman terhadap burung hantu seperti perburuan, penyebab kematian, dll. Selain itu juga penting untuk mengetahui jalur atau lintasan terbang Burung Hantu untuk memperkirakan lokasi yang cocok untuk pengembangan demplot
Observasi Lapangan di Pagi dan Malam HariPenemuan hasil observasi awal: Tyto alba terkena sengatan aliran listrik, temuan sarang burung hantu di atap rumah
Membangun demplot
Pengendalian hama tikus dengan menggunakan Tyto alba dilakukan diawali pada skala demplot. 1 unit demplot merupakan area persawahan seluas 25 ha. Di dalam area ini didirikan 5 buah sarang buatan (nest box) dan 60 tenggeren. Nest box diharapkan dapat dihuni oleh burung hantu nantinya sedangkan tenggeran dapat menjadi sarana bagi Burung Hantu untuk mengintai mangsa. Nest box dan tenggeren dibuat dan didirikan bersama-sama dengan masyarakat, dengan harapan ke depan mereka dapat mengembangkan instalasi ini secara mandiri. Pemasangan instalasi ini dilakukan mulai tanggal 30-31 Oktober 2019.
Tiang pancang nest box terbuat dari pipa PVC yang diisi adonan cor setinggi kurang lebih 6 meter. Sedangkan tenggeren terbuat dari tiang kayu atau bambu dengan ketinggian 3-4 meter. Nest box terbuat dari papan yang yang cukup tebal dan dikasih atap yang tahan air, baik terbuat dari fiber atau papan yang dilapisi dengan karpet talang air. Sebaiknya nest box dilapisi cat yang dapat mengurangi laju pelapukan bahan.
Proses Pembuatan Nest BoxPemasangan Nest Box dan Tenggeran di Areal Persawahan
Monitoring Terhadap Fungsi dan Manfaat Demplot
Setelah pemasangan instalasi Rubuha dan tenggeran, proses selanjutnya adalah mengamati (monitoring) fungsi dari kedua alat tersebut. Adapun tujuan monitoring program pemanfaatan Burung Hantu Tyto Alba sebagai pengendali tikus adalah:
Memastikan perkembangan aktivitas burung hantu di sekitar demplot Tyto Alba yang terpasang berdasarkan hasil monitoring dan catatan kelompok tani.
Mendiskusikan temuan-temuan yang ada di lapangan, tantangan dan kendala yang dihadapi serta metode-metode yang digunakan dilapangan oleh kelompok tani untuk memonitoring Tyto Alba.
Melihat respon masyarakat terhadap program yang diimplementasikan.
Monitoring secara rutin dilakukan secara mandiri oleh anggota kelompok tani. Anggota kelompok tani sangat berkepentingan untuk melihat efek pemasangan Rubuha dan tenggeran terhadap keberadaan burung hantu dan tikus di area persawahan mereka.
Dari monitoring yang dilakukan, sejak 1 bulan setelah pemasangan Rubuha dan tenggeran telah nampak aktivitas burung hantu di Rubuha maupun tenggeran. Hal ini membuat para petani menjadi yakin terhadap efektifitas metode ini. Waktu-waktu selanjutnya semakin banyak Rubuha yang dihuni oleh burung hantu dan bahkan telah digunakan untuk bertelur.
Project memberikan fasilitas 5 Rubuha dan 60 tenggeran di Desa Sumber Rejeki dan Desa Tabala Jaya. Namun dari pemantaun yang ada terdapat penambahan Rubuha dan tenggeran yang dipasang oleh masyarakat di dua desa terebut. Sekitar 3 bulan dari pengembangan ini beberapa petani di desa lainnya seperti Desa Sri Agung, Mekar Sari, Jati Sari, dan Karangsari. Artinya dari 7 desa yang ada di Kecamatan Karang Agung Ilir terdapat 6 Desa yang mengikuti langkah ini. Berdasarkan pendataan yang dilakukan pada bulan ke-6 perkembanga Rubuha dan tenggeran Tyto alba di Kecamatan Karang Agung Ilir menjadi sekitar 40 unit dari awalnya yang hanya 3 unit.
Evaluasi Dan Pembelajaran
Selain memonitor fungsi dan pengembangan Rubuha dan tenggeran, pada bulan januari (3 bulan setelah pemasangan instalasi) juga dilakukan evaluasi bersama petani. Catatan kritis dari para petani adalah sebagai berikut:
Banyak petani yang mengikuti langkah-langkah yang ditempuh oleh kelompok tani yang didampingi oleh project. Hal ini didasarkan pada fenomena kedatangan burung hantu di sekitar Rubuha dan tenggeran;
Terjadi perubahan pola terbang Tyto Alba setelah adanya penanaman di sawah dan curah hujan yang meningkat. Beberapa hal yang ditakutkan petani perubahan pola terbang ini dikarenakan banyaknya tenggeran yang telah terpasang di desa-desa lain, sehingga merubah pola terbang dan keberadaan Tyto Alba di lokasi sebelumnya;
Penggunaan racun tikus masih ada di anggota kelompok tani lain dalam satu petak, sehingga ini cukup menjadi ancaman bagi Tyto Alba dan hewan lain pemakan tikus;
Pernah terdapat Tyto Alba yang mati dikarenakan tikus, namun masih belum diketahui pasti penyebabnya;
Ancaman lainnya untuk Tyto Alba yaitu pembongkaran bangunan yang menjadi lokasi sarang bagi Tyto Alba, dan masih adanya keyakinan bahwa burung hantu merupakan pengganggu bagi wallet yang dibudidayakan warga khususnya di desa-desa lain di luar desa intervensi (Sumber Rejeki dan Tabala Jaya);
Beberapa hal terkait pengetahuan mengenai Tyto Alba yang masih ingin diketahui petani pegiat rubuha Tyto Alba seperti: perkembangbiakan, home range dan populasi dan informasi lain untuk dapat memahami krakateristik Tyto Alba agar hasil yang diharapkan menjadi maksimal.