Email Address
info@relung.or.id
Phone Number
+62 851-7544-2708
Our Location
Sleman, Yogyakarta 55573
info@relung.or.id
+62 851-7544-2708
Sleman, Yogyakarta 55573
admin
Agustus 28, 2024
Indonesia, dengan kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang melimpah, memiliki berbagai sumber daya pangan yang belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Salah satu tanaman yang memiliki potensi besar namun belum sepenuhnya tereksplorasi adalah pohon sagu. Sebagai sumber pangan yang ramah iklim, sagu menawarkan berbagai keunggulan yang dapat mendukung ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan di Indonesia.
Pohon sagu (Metroxylon sagu) tumbuh subur di wilayah-wilayah tropis Indonesia, terutama di daerah Papua, Maluku, dan Sulawesi. Diperkirakan Indonesia memiliki sekitar 5,5 juta hektar lahan sagu, yang merupakan sekitar 51% dari total lahan sagu dunia (BPS). Sagu tumbuh baik di lahan basah seperti rawa-rawa dan lahan gambut, yang seringkali tidak cocok untuk tanaman pangan lainnya.
Secara fisiologis, pohon sagu memiliki batang yang kaya akan pati di bagian dalamnya. Pati ini dapat diekstraksi dan diolah menjadi berbagai produk pangan. Pohon sagu juga memiliki sistem perakaran yang kuat dan mampu mengikat tanah, sehingga membantu mencegah erosi dan degradasi lahan.
Sagu memiliki berbagai aplikasi dalam industri pangan. Tepung sagu dapat diolah menjadi beragam produk seperti mie, roti, kue, dan bahkan bahan baku untuk bioetanol. Satu pohon sagu dapat menghasilkan antara 150 hingga 300 kilogram tepung sagu, dengan masa panen yang berkisar antara 7 hingga 12 tahun (World Bank) (Databoks).
Di luar sektor pangan, sagu juga memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam industri non-pangan. Serat dari pohon sagu dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan kertas, sedangkan pati sagu dapat dijadikan bahan baku untuk bioplastik, yang merupakan alternatif ramah lingkungan dibandingkan plastik konvensional (Katadata).
Dari perspektif lingkungan, sagu menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan tanaman pangan lainnya. Pohon sagu mampu menyerap dan menyimpan karbon dioksida dalam jumlah besar selama pertumbuhannya, sehingga berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim. Penelitian yang dilakukan di Aklan State University, Filipina, menunjukkan bahwa tanaman sagu memiliki kandungan karbon tertinggi pada tahap rosette dan berbunga. Rata-rata total kandungan karbon pada tahap rosette adalah 0,16 kg atau 35,68 kg/ha, sedangkan pada tahap berbunga adalah 0,04 t/ha dan 23,29 t/ha (Databoks). Selain itu, karbon organik tanah di area perkebunan sagu mencapai 11,6 t/ha, dengan total kandungan karbon di atas tanah dan di bawah tanah diperkirakan mencapai 34,93 t/ha (Databoks).
Sagu juga memiliki efisiensi air yang tinggi, menjadikannya tanaman yang cocok untuk daerah dengan akses air terbatas. Selain itu, sistem perakaran sagu yang dalam membantu dalam pengelolaan air tanah dan menjaga keseimbangan ekosistem lokal.
Sagu dapat ditanam dalam paludikultur, yaitu praktik pertanian yang dilakukan di lahan rawa dengan tingkat air tanah tinggi dan kadar kelembaban gambut tinggi. Paludikultur sagu mampu memulihkan ekosistem lahan gambut yang terdegradasi dan secara bersamaan menyerap sejumlah besar karbon dioksida (CO2) dari atmosfer (Databoks).
Sebelum beras menjadi kebijakan pangan tunggal di Indonesia, sagu sudah lama menjadi sumber pangan utama bagi banyak komunitas tradisional di Indonesia Timur, seperti di Papua, Maluku, dan sebagian Sulawesi. Masyarakat di daerah ini mengandalkan sagu sebagai makanan pokok dalam bentuk papeda, bubur sagu, dan aneka produk olahan lainnya. Sagu tidak hanya memenuhi kebutuhan karbohidrat mereka tetapi juga merupakan bagian integral dari budaya dan tradisi lokal (BPS).
Di masa lalu, sagu berperan penting dalam memastikan ketahanan pangan di daerah-daerah yang tidak cocok untuk padi. Konsumsi sagu yang meluas pada era sebelum beras mendominasi kebijakan pangan nasional menunjukkan bahwa sagu adalah sumber pangan yang andal dan adaptif terhadap kondisi lokal. Sagu juga mudah diolah dan disimpan, menjadikannya sumber pangan yang stabil dan tahan lama.
Meskipun sagu memiliki banyak potensi, pemanfaatannya di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan. Salah satunya adalah kurangnya infrastruktur dan teknologi untuk pengolahan sagu. Banyak petani masih menggunakan metode tradisional yang kurang efisien, sehingga perlu adanya transfer teknologi dan peningkatan kapasitas petani untuk mengoptimalkan produksi sagu.
Selain itu, perlu adanya upaya promosi yang lebih gencar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan manfaat sagu sebagai sumber pangan alternatif. Diversifikasi produk sagu dan inovasi dalam pengolahannya juga dapat membuka peluang pasar baru, baik di dalam negeri maupun untuk ekspor.
Sagu merupakan sumber daya alam yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai sumber pangan ramah iklim di Indonesia. Dengan berbagai keunggulan ekologis dan manfaat ekonomisnya, pengembangan industri sagu dapat mendukung ketahanan pangan nasional sekaligus berkontribusi dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Melalui investasi yang tepat dalam teknologi, infrastruktur, dan peningkatan kapasitas petani, sagu dapat menjadi salah satu solusi berkelanjutan bagi masa depan pangan Indonesia.
Kontributor:
Meiardhy Mujianto
“Pangan adalah urusan hidup dan mati suatu bangsa.”
-Ir. Soekarno
Jaga lingkungan bersama Relung Indonesia Foundation! Dapatkan informasi terkini seputar kehutanan dan lingkungan di Indonesia.
Relung Indonesia Foundation
Copyright © 2023. All rights reserved.